Tuesday, August 4, 2009

Thariqat Tijaniyah Berpegang Teguh pada Syari’at


Thariqat Tijaniyah

Berpegang Teguh pada Syari’at


Thariqat Tijaniyah sangat menekankan arti pentingnya syari’at. Syeikh Ahmad At-Tijani selalu menimbang semua persoalan dan fatwanya dengan kacamata syari’at. Beliau berkata:



“Jika Kalian mendengar sesuatu dariku, maka pertimbangkan dengan neraca syara’. Sesuatu yang sesuai syara’, kerjakanlah dan sesuatu yang menyimpang, tinggalkanlah !” (Al-Inshaf: 1)

Keteguhan atas syari’at dan sunah dengan penuh adab merupakan syarat sah bagi Jama’ah Thariqat Tijaniyah. Jika syarat ini tidak dapat dipenuhinya, maka ia tidak pantas mencium kebenaran thariqat dan tertolak dari pintunya.




“Demikian pula beramal dengan beberapa perintah syari’at dan beberapa larangannya dengan beberapa adabnya. Berpegang teguh dengan sunah Rasululloh SAW, mengikuti perilakunya dan menetapi perbuatan-perbuatannya. Maka dengan itu semua dapat sah masuk dalam naungan Thariqat Tijaniyaniyah.” (Al-Hidayah Ar-Rabbaniyah Fi Fiqhi at-Thariqah At-Tijaniyah, hal: 3)

Dalam adab syari’at dan sunah Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani menjadi teladan bagi jama’ahnya thariaatnya.



“Adapun adab Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani ra. lahir dan batinnya ada dalam syari’at Muhammadiyah dan bersama Alloh SWT.” (Mizabur Ar-Rahmah: 10)

Beliau selalu berada dalam jalan syari’at dan mengikuti sunah. Mengoptimalkan penjagaan syari’at dan sunah sehingga sempurna. Beliau memperhatikan dan menjaga beberapa had Allah, perintah-perintah-Nya dan larangan-larangan-Nya. Dalam hal ini tidak ada yang menyamai atau menyerupainya. Beliau menerapkan sunah bagi diri dan keluarganya. Menjadikan sunah sebagai syi’arnya dalam semua perbuatan dan keadaannya.

Beliau berakhlak dengan akhlak syari’at dan semua adab-adabnya yang terjaga. Akhlaknya adalah Qur’an dan semua yang diperintahkan ar-Rahman. Beliau ridla dengan Ridla Alloh dan benci dengan kebencian-Nya (cinta dan benci karena Alloh) dalam semua perkaranya. Memerintahkan apa yang diperintah-Nya dan memperingatkan apa yang peringatkan-Nya.

Beliau jelas-jelas mewarisi sifat Rasululloh SAW, mengagungkan perintah syari’at, memuliakan perintah Nabi Muhammad SAW. Beliau banyak merenungi Firman Alloh SWT:




“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 63)

Beliau mencintai perbuatan yang pernah dilakukan Nabi SAW dan mengingatkan akan pentingnya mengikuti sunah. Beliau berkata:




“Kebaikan seluruhnya ada dalam mengikuti sunah dan kejelekan seluruhnya ada dalam menyalahinya.”

Beliau juga berkata: “Ketahuilah ! Sesungguhnya jalan yang lurus (shirathal mustaqim) adalah Nabi SAW. Dikatakan demikian karena Nabi adalah jalan yang terbentang menuju kepada Alloh. Tidak seorang pun akan sampai ke Hadirat Qudus (Alloh), menyelami rahasia-Nya dan memperoleh cahaya-Nya kecuali dengan berjalan atas shirathal mustaqim. Nabi adalah pintu dan jalan yang lurus (shirathal mustaqim) menuju kepada Alloh. Orang yang ingin masuk menemui Alloh SWT dalam Hadirat-Nya yang Agung dan Suci tetapi berpaling dari kekasih-Nya (Nabi SAW), maka akan tertolak, terlaknat, tertutup jalan dan pintunya dan akan dikembalikan kedudukannya dari manusia yang beradab ke dalam kelompok hewan.

Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani telah membahas tentang hakikat hukum syara’ sebagai kesatuan Kitab dan sunah. Beliau berkata: “Hakikat hukum syara’ adalah hukum (khitab) dari Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Nash-nash kitab Ilahiyah jelas-jelas merupakan Firman Alloh yang hak, seperti Alqur’an, Injil, Taurat dan Zabur. Demikian juga perintah-perintah yang diberikan para rasul tidak mungkin akan keluar dari ketentuan Kitab. Karena Alloh berfirman:




“Dan kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk dita`ati dengan seizin Alloh.” (QS. An-Nisa: 64)



“Siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati Alloh. Dan siapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 80)



“Dan siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115)




“Katakanlah: Taatlah kepada Alloh dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Alloh) dengan terang.” (QS. An-Nur: 54)

Beberapa ayat ini jelas menujukkan bahwa perintah Rasul setara dengan Firman Alloh dalam hukum. Sesungguhnya Alloh telah memerintahkan untuk taat kepada Rasul dalam semua yang diperintahkan atau yang dilarangnya.

Alloh memerintahkan supaya umat mentaati Rasul-Nya dalam semua perkara yang diperintahkan dan dilarangnya.

Alloh SWT berfirman:



“Apa yang diperintahkan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; Dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Adapun hukum yang dicetuskan Rasul yang tidak terdapat dalam Kitab yang diturunkan adalah perkara Ilahiyah yang tidak diragukan lagi bahwa itu berasal dari Alloh.

Beliau menyikapi bahwa perbedaan pendapat (khilaf) dalam ijtihad hanya terjadi dalam hukum yang tidak terdapat dalam Kitab dan sunah. Sedangkan hukum yang sudah ada dalam keduanya harus diterima sebagaimana mestinya.

Beliau berkata: “Perbedaan pendapat (khilaf) para mujtahid ada dalam batas ungkapan:




“Siapa yang berijtihad dan benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Siapa yang berijtihad dan salah, maka dia mendapatkan satu pahala.”

Dan ijtihad yang benar itu pasti satu dan yang lainnya hanya mendekati. Karena secara akal tidak mungkin semua ijtihad adalah benar.

Ijtihad adalah hukum yang muncul karena tidak ada nash (teks) dalam perkara atau persoalan sedang terjadi. Ijtihad dilakukan dengan jalan istinbath (mengambil hukum pada perkara baru yang sedang terjadi dari nash Kitab atau sunah dengan mempersamakan sebab/ilat antara perkara tersebut dan nash yang diambil hukumnya). Adapun nash Allah atau Rasul-Nya yang sudah pasti (qath’i), maka tidak ada ijtihad dalm keduanya. Sebagaimana telah dipahami oleh Ulama Ushul Fiqih.

Mengenai perkara atau persoalan baru yang sedang terjadi, maka adakalanya persolan itu sudah diterangkan dalam nash, baik dalam Alqur’an atau Hadits. Baik nash itu diketahui oleh manusia atau terlupakan dan tidak dinukil oleh seorang pun. Ada juga persoalan yang tidak terdapat dalam nash, baik Alqur’an atau Hadits. Persoalan yang sudah ada nashnya, maka hukumnya sangat jelas bagi makhluk. Yaitu wajib mematuhinya tanpa kecuali. Hakim yang menetapkan hukum sesuai nash dinamakan hakim yang hak. Sedangkan hakim yang melewati hukum yang telah ada dalam nash dinamakan hakim zalim/aniaya.

Nash yang menjadi landasan hukum adakalanya mencapai derajat ahli shahih dalam menukilnya dan juga mutawatir. Siapa yang menghukumi persoalan dengan sengaja berlawanan dengan nash, maka dia telah kafir (ingkar). Adakalanya nash tersebut berupa kabar ahad dan mutawatir. Siapa yang menyalahinya pun dianggap kafir. Adakalanya nash yang dinukil tidak mutawatir dan tidak masyhur. Maka berbeda dengan nash ini secara sengaja dengan ilmunya tidak menyebabkan kafir. Tetapi masih dianggap berdosa besar. Sedangkan persoalan yang tidak ditemukan sama sekali dalam nash, maka wajib menghukuminya dengan ijtihad.

Mengenai perbedaan pendapat para mujtahid dalam perkara atau persoalan yang sedang terjadi, jika mijtahid memberikan hukum sesuai dengan yang ada dalam nash, maka dialah yang benar dalam hakikinya perkara itu. Sedangkan mujtahid lainnya pasti salah. Di sinilah berlaku kaidah: “Semua mujtahid adalah salah dan yang benar hanya satu.” Kebenaran itu pun bukan disebabkan dirinya. Tetapi disebabkan sesuai dengan hukum yang terjadi dalam persoalan hakikinya (sesuai dengan nash). Semua mujtahid yang sesuai dengan hukum ini adalah para mujtahid yang benar.

Adapun persoalan yang tidak ada nashnya, baik dari Allah atau Rasul-Nya, tidak secara dlahir atau batin, maka persoalan inilah yang digariskan para mujtahid. Dalam perkara ini dan semua yang menyerupainya berlaku ungkapan: “Semua mujtahid adalah benar.” Tidak pantas bagi salah seorang di antara mereka mengatakan salah kepada lainnya. Bahkan menyalahkan mereka adalah haram. Supaya tidak terjadi pelecehan kepada ulama dan menganggapnya sesat.

Para mujtahid yang dianggap berhak dalam mengambil hukum adalah orang-orang yang telah memenuhi beberapa syarat sebagai mujtahid. Yaitu mengetahui Nash Kitab dan Sunah. Juga mengetahui beberapa ilat (sebab) yang dapat melatarbelakangi hukum yang muncul karena sebab itu dalam tiap nash. Mengetahui ilat (sebab) yang mengumpulkan atau mempertautkan antara persolan baru dan nash yang akan menghubungkannya. Ini merupakan syarat mujtahid yang benar.

Ijtihad bukan sekedar ucapan yang keluar dari ahli ilmu. Karena kebanyakan mereka tidak mengetahui adanya beberapa nash dalam persolan yang sedang terjadi.

Perumpamaan orang yang terakhir ini adalah seperti sabda Nabi SAW:



“Sesungguhnya Alloh tidak mencabut ilmu sekaligus dari manusia. Tetapi mencabut ilmu dengan mencabut ulama. Ketika orang alim meninggal, maka dia pergi dengan membawa ilmu yang bersamanya. Sehingga ketika tidak ada orang alim, maka manusia mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin-pemimpinnya. Mereka bertanya kepada mereka dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Mereka tersesat dan menyesatkan.”

Orang terakhir yang telah kami sebutkan sebelumnya adalah orang yang dimaksud dengan akhir hadis. Sedangkan perumpamaan para mujtahid yang shahih yang memenuhi syarat adalah sabda Nabi SAW:




“Suatu persoalan sulit (musykil) yang terjadi atas kalian, maka kembalikanlah kepada Alloh dan ahli ilmu setelahku. Bagaimana mereka mengabarkan dengan takwil (interpretasi) persoalan itu.”

Atau seperti perumpamaan Alloh SWT dalam ayat:



“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (QS. An- Nisa: 83)

Ayat dan hadits ini adalah dua saksi sahnya istinbath (penggalian hukum).

Ijma’ ahli tahkik atas masalah kewalian adalah; bahwa bumi ini tidak pernah sepi dari para waliyulloh dan orang yang menyalahi kesepakatan (konsensus) masalah ini dianggap telah keluar dari ahli Islam. Adakalanya para wali berjuang karena Allah dengan hujah agamanya. Adakalanya juga menjadi sebab tertolaknya bencana dari para makhluk-Nya.

Para wali yang bergerak dan berjuang dengan hujah agama telah diluaskan ilmunya dalam mengetahui nash-nash qath’i (pasti) dengan rincian cabang-cabangnya. Mengetahui Kitab, sunah, nasikh mansukh, ilat (sebab) masing-masing nash yang menyebabkan hukum dalam nash tersebut. Allah telah memberikan Nur Ilahiyah kepada mereka. Jika seandainya diajukan 1000 masalah yang tidak ada nashnya kepada mereka dalam satu waktu, mereka pasati akan mendatangkan tiap masalah sesuai nash yang menjadi dasar hukumnya. Dengan adanya ilat (sebab) yang meghubungkan antara keduanya. Mereka mengetahui ini semua dengan sempurna. Sehingga diistilahkan bahwa jika syariat hilang dari muka bumi karena tidak ada para pencatat, maka syariat itu akan dikumpulkan di dada mereka.

Inilah sifat mereka (para mujtahid). Tidak hanya dengan payahnya perjalanan atau banyaknya hafalan. Tetapi dengan nur Ilahi dan kekuatan Robbani. Disertai dengan perjalanan mereka dan pengajarannya untuk menjaga ilmu. Dengan ini semua mereka mencapai martabat (ijtihad) ini. Seandainya bumi ini kehilangan orang seperti ini, maka jatuhlah hujah Alloh atas makhluk-Nya. Dan sifat ini hanya dapat dicapai oleh pribadi yang sempurna. Meskipun kadang ada dalam pribadi lainnya dari orang-orang yang telah dikuatkan Alloh dengan anugerah-Nya.

Dengan cara semacam ini Jama’ah Thariqat Tijaniyah berpegang teguh dalam Syariat dan Hukum Islam. Mengamalkannya dengan penuh hati-hati (ihtiyat) dan istikqamah (konsisten).

Kunci Rahmat Ilahi, A. Sinqithy Jamaluddin, hal.: 37, Edisi Revisi, Pustaka Tijaniyah.

al-Hidayah ar-Rabbaniyah Fi Fiqhi at-Thariqah at-Tijaniyah, Muhammad Sayid at-Tijani, hal: 3, Maktabah al-Qahirah.

Mizabur ar-Rahmah ar-Rabbaniyah Fi Tarbiyyah Bit at-Thariqah at-Tijaniyah, Syekh Sayid Ubaidah bin Muhamammad as-Shoghir bin Anbujah as-Sinqithi, hal.: 10, Maktabah asy-Syu’biyah, Beirut, Lebanon.

Ibid, hal.: 8.

Ibid, hal.: 8.

Ibid, hal.: 8.

Jawahiru Ma’ani, j.: II, hal.: 242.

Jawahirul Ma’ani, j.II, hal.: 184-185.

Jawahirul Ma’ani, j.: II, hal.: 205-206.

me{%au76mua dengan sempurna. Sehingga diistilahkan bahwa jika syariat hilang dari muka bumi karena tidak ada para pencatat, maka syariat itu akan dikumpulkan di dada mereka.

Inilah sifat mereka (para mujtahid). Tidak hanya dengan payahnya perjalanan atau banyaknya hafalan. Tetapi dengan nur Ilahi dan kekuatan Robbani. Disertai dengan perjalanan mereka dan pengajarannya untuk menjaga ilmu. Dengan ini semua mereka mencapai martabat (ijtihad) ini. Seandainya bumi ini kehilangan orang seperti ini, maka jatuhlah hujah Alloh atas makhluk-Nya. Dan sifat ini hanya dapat dicapai oleh pribadi yang sempurna. Meskipun kadang ada dalam pribadi lainnya dari orang-orang yang telah dikuatkan Alloh dengan anugerah-Nya.

Dengan cara semacam ini Jama’ah Thariqat Tijaniyah berpegang teguh dalam Syariat dan Hukum Islam. Mengamalkannya dengan penuh hati-hati (ihtiyat) dan istikqamah (konsisten).

Kunci Rahmat Ilahi, A. Sinqithy Jamaluddin, hal.: 37, Edisi Revisi, Pustaka Tijaniyah.

al-Hidayah ar-Rabbaniyah Fi Fiqhi at-Thariqah at-Tijaniyah, Muhammad Sayid at-Tijani, hal: 3, Maktabah al-Qahirah.

Mizabur ar-Rahmah ar-Rabbaniyah Fi Tarbiyyah Bit at-Thariqah at-Tijaniyah, Syekh Sayid Ubaidah bin Muhamammad as-Shoghir bin Anbujah as-Sinqithi, hal.: 10, Maktabah asy-Syu’biyah, Beirut, Lebanon.

Ibid, hal.: 8.

Ibid, hal.: 8.

Ibid, hal.: 8.

Jawahiru Ma’ani, j.: II, hal.: 242.

Jawahirul Ma’ani, j.II, hal.: 184-185.

Jawahirul Ma’ani, j.: II, hal.: 205-206.

Kreditasi
---------
http://ppalumm.wordpress.com/2009/02/27/294/

No comments:

Post a Comment