Ide Utama dan Pokok Pikiran
Thariqat Tijaniyah Adalah Syukur
Thariqat Tijaniyah merupakan thariqat yang menekankan syukur sebagai jalan menuju kepada Allah. Syukur menjadi pijakan pokok dan prinsip utama Thariqat Tijaniyah. Oleh karenanya nama lain Thariqat Tijaniyah adalah Thariqat Syukur ( At-Thariqat Asy-Syukr ). Syeikh Ahmad At-Tijani berkata:
“Syukur adalah pintu terbesar Alloh dan jalan-Nya yang terlurus. Karena itu, setan selalu duduk di jalurnya, merintangi orang-orang mukmin melewatinya.”
Masih dalam kitab yang sama, beliau menyatakan pokok pikirannya:
“Pintu paling dekat menuju kepada Allah adalah pintu syukur. Siapa yang pada masa ini tidak masuk melalui pintu syukur, dia tidak akan dapat masuk. Karena jiwa manusia saat ini telah mengeras.”
Pokok pikiran utama ini diteruskan oleh murid terdekatnya, Sayid Ali Harazim bin Arabi yang berkata:
“Seluruh manusia tenggelam dalam lautan nikmat. Sungguh mereka tidak bersyukur.”
Pokok pikiran ini merupakan inti dari Firman Alloh SWT:
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS. As-Saba’: 13)
Ayat-ayat yang menerangkan tentang nikmat dan syukur ini banyak ditemukan dalam Kitabulloh (Alqur’an).
Sayid Arabi ban Sa-ih berkata: “Tujuan tarbiyah dalam Thariqat ini (Tijaniyah) adalah untuk mengencangkan nafsu dan mempereratnya. Tanpa terus menyepi (khalwat) dan tanpa menghindar dari manusia atau masyarakat dan lain sebagainya. Tarbiyah seperti ini mengingatkan bahwa Thariqat ini sejalan dengan cara-cara yang telah ditempuh orang-orang shalih generasi pertama. Yang mana cara-cara ini merupakan thariqat (metode) yang masih asli. Yaitu thariqat yang mengembangkan syukur (Thariqah asy-syukr) dan bahagia dengan Alloh SWT sebagai Pemberi nikmat (Al-Mun’im) serta melakukan pelatihan hati (riyadhah qalbiyah).
Sebagaimana telah dipahami bahwa corak semua thariqat ada dua macam. Pertama thariqat yang pola utamanya adalah syukur dan bahagia dengan Sang Pemberi Nikmat (Al-Mun’im). Tanpa memperberat dan membebani diri. Kedua adalah thariqat yang pola utamanya dibangun atas pelatihan-pelatihan (riyadhah), memperberat dan mempersulit diri, berjaga sepanjang malam (sahar) dan puasa sepanjang tahun (ju’).
Mengenai dua corak thariqat ini diterangkan lebih lanjut dalam Adz-Dzahab Al-Ibriz Fi Manaqib Sayyidi Abdil Aziz. Bahwa thariqat syukur adalah thariqat yang berasal dari sumber asli. Corak seperti ini ada dalam hati para nabi, para sahabat dan orang-orang suci lainnya. Yaitu metode ibadah dengan memurnikan penghambaan (ubudiyah) dan melepaskan semau pamrih. Secara bersamaan juga mengakui adanya kelemahan dan keteledoran serta ketidakmampuan dalam memenuhi hak ketuhanan (Rububiyah). Semua itu dilakukan dalam rangka memperoleh ketenangan hati dalam semua kondisi perjalanan waktu dan zaman. Setelah Allah mengetahui kejujuran mereka dalam melakukan semua itu, maka Allah akan memberikan kepada mereka sesuatu yang pantas sebagai anugerah. Karena Allah mempunyai sifat dermawan (Karim). Pemberian itu berupa terbukanya tirai makrifat (fatah) dan pemahaman rahasia-rahasia iman kepada Alloh SWT.
Ketika ahli riyadhah mendengar perolehan semacam ini (fathul ma’rifat), maka mereka menjadikan itu sebagai tujuannya. Mereka berusaha mencapainya dengan puasa, shalat, menjaga malam dan terus menerus dalam penyepian (khalwah). Sehingga mereka memperoleh apa yang mereka inginkan.
Hijrah yang ditempuh thariqat corak pertama adalah hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukan kepada hasilnya seperti terbukanya tirai makrifat (fatah) atau tirai ghaib (kasyaf). Sedangkan hijrah ditempuh dari corak thariqat kedua adalah memperoleh beberapa kedudukan (martabat). Perjalanan thariqat pertama adalah hati. Sedangkan perjalanan thariqat kedua adalah badan. Fatah yang diperoleh dalam thariqat pertama adalah pemberian yang tidak dihasilkan oleh hamba yang meliriknya. Berbeda dengan fatah yang kedua.
Kedua corak thariqat ini semua benar. Hanya saja thariqat syukur lebih baik dan lebih murni. Keduanya selaras dalam hal pelatihan-pelatihannya (riyadhah). Namun riyadhah dalam thariqat corak pertama adalah hati yang senantiasa terkait dengan Alloh, berdiri di depan pintu-Nya dan mengungsi kepada-Nya dalam gerak dan diamnya. Meskipun secara lahinya tidak terlebih memperbesar ibadah. Karenanya para penempuhnya tetap melakukan puasa dan berbuka, shalat di sebagian malam dan tidur di sebagian lainnya, mendekati istri-istrinya, menunaikan semua aktifitas (wadhifah) syari’at. Adapun pelatihan-pelatihan (riyadhah) dalam thariqat kedua adalah kebalikannya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata: “Sesungguhnya jiwa-jiwa manusia telah mengeras. Sehingga tidak dapat dikendalikan hanya dengan perhitungan amal (muhasabah) atau perdebatan akal (munaqasyah). Juga tidak tersentuh oleh bekas-bekas pelatihan(riyadhah). Akan tetapi ketika perasaan bahagia dengan Sang Pemberi Nikmat (AL-Mun’im) telah menguasai dirinya, maka semua kekerasan jiwa itu akan sirna dan menyatukan keretakan-keretakannya.”
Jawahirul Ma’ani, Sayid Ali Harazim bin Arobi, J.:I, hal.: 97.
Kasyiful Ilbas ‘An Faidhati al-Khotmi Abi al-‘Abbas, Hujjatul Arifin Sayid Ibrohim bin Abdillah bin Muhammad at-Tijani, hal.: 114-115, Syirkah Maktabah Musthafa al-Halabi, Kano, Nigeria. Jawahirul Ma’ani, Sayid Ali Harazim bin Arabi, j.:I, hal.: 97.
Jawahirul Ma’ani, Sayid Ali Harazim bin Arobi, j.:I, hal.: 97.
Kasyif al-Ilbas Fi Faidhah al-khatmi Abi al-abbas, Sayid Ibrahim bin Abdillah At-Tijani, hal.: 18, Maktabah Musthafa Al-Babi, Nigeria.
Kasyful Ilbas ‘An Faidhoti Al-Khotmi Abil Abbas, hal.: 114-115.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment