Tuesday, August 4, 2009

Khatmu Al-Auliyai Al-Maktum (Penutup para wali yang tersembunyi -Dari Qalbu Nabi Muhammad)

AL-Quthbi Al-Kamil

Khatmu Al-Auliyai Al-Maktum


Secara etimologi (bahasa), qutub berasal dari kata ط - ب - ق. Artinyabintang terindah. Sedangkan secara istilah, qutub adalah manusia terbaik yang mengumpulkan seluruh keutamaan. Baik dalam sifat kemanusiaan, ibadah dan kedekatannya dengan Alloh. Seorang qutub merupakan Khalifah Rasulillah SAW dalam menjaga keseimbangan alam.Setiap masa hanya ada satu orang kutub. Ibnu Hajar menjelaskan, kata abdal telah masyhur dalam sejumlah khabar dan qutub telah ditemukan dalam beberapa atsar. Sedangkan kata ghauts tidak ditemukan sumbernya. Jalaluddin As-Suyuthi telah mengetengahkan akan adanya qutub, autad dan abdal dalam kitabnya Al-Khabarud Dallu ‘Ala Wujudil Quthbi Wal Autadi Wan Nujabai Wal Abdalli. Keterangan ini menunjukkan adanya qutub. Berbeda dengan ghauts yang tidak ada penunjukkan. Hal ini berdasarkan pada hadits dan atsar yang ditemukan.

Adapun ghauts secara istilah adalah persamaan dari qutub. Ghauts merupakan sosok qutub yang sempurna (Al-Quthb Al-Kamil wa Al-Jami). Dari sini dapat dimengerti bahwa kemutlakan kata ghauts atas al-quthbu al-jami’ adalah istilah yang baru muncul di antara para wali. Berbeda denga kata qutub yang telah ditemukan dalam beberapa atsar. Kekhususan Al-Quthbu Al-Kamil wa Al-Jami ini sangat banyak. Di antaranya adalah mengetahui ismu Al-a’dham dengan seluruh bentuk, huruf, lafal, jumlah, tujuan dan waktunya. Sebagian dari ismu Al-a’dham ini ada yang boleh diijazahkan kepada beberapa orang sahabatnya dan ada pula yang tidak diperbolehkan. Karena besarnya anugerah, martabat lahir atau batinnya dan inti batinnya. Sebagaimana keterangan dalam Jawahirulma’ani, Kanzi Al-Muthlasam dan beberapa risalah Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani.

Al-Quthbu Al-Kamil wa Al-Jami mempunyai 366 dzat sesuai jumlah hari kabisat. Seperti telah diterangkan As-Sya’rani dari gurunya, Al-Khawas r.a. keterangan ini juga disampaikan oleh Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani r.a. dalam Jawahiru Al-Ma’ani.

Ibnu Asakir dan Al-Khatib telah mengutip keterangan dari Ubaidillah bin Muhammad Al-abbas, bahwa Al-kannani mengatakan, “Wali nuqaba berjumlah 300 orang. Wali nujaba berjumlah 70 orang. Wali abdal berjumlah 40 orang. Wali akhyar berjumlah 7 orang. Wali amal berjumlah 4 orang. Wali ghauts hanya seorang. Menurut Ibnu Khaldun, kedudukan qutub merupakan kedudukan tertinggi. Sebagian orang arif mengatakan bahwa Wali Qutub adalah seorang wali yang disinyalir dalam Hadits Ibnu Mas’ud, hatinya berada dalam hati Malaikat Israfil. Wali Qutub merupakan poros dan markas dari seluruh wali.

Imam jalaluddin As-Suyuthi telah meriwayatkan dari Ibnu Asakir dan Abu Nu’aim dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasululloh SAW bersabda, “Sesungguhnya Alloh juga mempunyai 40 orang di antara makhluk-Nya yang hatinya berada dalam hati Nabi Musa a.s. Alloh juga mempunyai 7 orang di antara makhluk-Nya yang hatinya berada dalam hati Nabi Ibrahim a.s. Alloh juga mempunyai 5 orang di antara makhluk-Nya yang hatinya berada dalam hati Malaikat Jibril a.s. Alloh juga mempunyai 3 orang di antara makhluk-Nya yang hatinya berada dalam hati Malaikat Mikail a.s. Alloh juga mempunyai satu orang di antara makhluk-Nya yang hatinya berada dalam Malaikat Israfil a.s. Jika yang seorang tersebut meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari yang 3 orang. Jika yang 3 orang telah meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari yang 5 orang. Jika yang 5 orang telah meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari yang 7 orang. Jika yang 7 orang telah meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari yang 40 orang. Jika yang 40 orang telah meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari yang 300 orang. Jika yang 300 orang telah meninggal, maka Alloh SWT akan menggantikan kedudukannnya dari orang umum.

Dengan sebab merekalah Alloh menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tumbuhan dan menolak bahaya.”

Shahibul Muniyah telah bersyair:



Dalam Bulan Muharam esok, akan muncul ghauts yang memberi petunjuk.

Yaitu khalifah dari al-muhaimin al-majid (Alloh).

Alloh telah memberikan kedudukan tersebut kepada guru kami di Arafah.

Seperti yang telah diceritakan oleh orang yang hak dan mengetahuinya.

Ghauts yang dimaksud adalah Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Karena pada Bulan Muharam tahun 1214 H. Rasululloh SAW telah mengukuhkannya sebagai Al-Quthub Al-Kamil, Al-Quthb Al-Jami’ dan Al-Quthb Al-Udzhma di Arafah. Seperti keterangan terdahulu.

Istilah “Khatmu Al-Auliya” memang jarang dibicarakan. Istilah ini diperkenalkan pertama oleh seorang wali agung Muhammad bin Ali Al-Hakim At-Turmidzi (w. 255 H.) dalam kitabnya ‘Khatmu Al-Auliya’ (Penutup Para Wali). Selanjutnya, seorang wali quthub, yaitu Syeikh Ali bin Muhammad Wafat (w. 807 H.) mempertegas keberadaannya. Sehingga akhirnya, istilah ini muncul ke permukaan setelah pengarang “Futuhatul Makiyyah”, Syeikh Muhyidin Ibnu Arabi Al-Hatami mengungkapkannya secara khusus dalam sebuah kitab yang berjudul: “Anqaau Maghrib Fii Khatmi Al-Auliya Wa Syamsi Al-Maghrib” (Bumi Maroko: Penutup Para Wali dan Mataharinya).

Di antara beberapa wali yang agung pun ada yang mengklaim sebagai ‘Khotmu Al-Auliya’. Antara lain:

1. Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al-Jazuli, pengarang Dalailul Khairat.

2. Syeikh Ali bin Muhammad Wafa. Beliau mengatakan bahwa ayahnya, Muhammad Wafa adalah Khatmu Al-Auliya. Namun pernyataan ini dicabut kembali.

3. Syeikh Al-Fasyasyi.

4. Syeikh Muhyidin Ibnu Arabi Al-Hatami. Setelah Beliau bermimpi melihat Ka’bah yang dibangun dengan batu-bata emas dan perak. Hanya saja di puncaknya (antara rukun Yamani dan Syami, lebih condong ke rukun Syami) terlihat kuarng dua bata. Dalam mimpinya, Beliau memperhatikan hal tersebut. Dengan kesadarannya beliau menganggap bahwa dirinyalah penutup dan penyempurna bangunan Ka’bah. Setelah melalui penakwilan, Beliau menganggap telah mencapai Khatmu L-Auliya. Maka dengan riang gembira, beliau mengalunkan syair:

5.



Dengan kamilah Alloh menutup wilayah.

Maka bermuaralahlah wilayah kepada kami.

Karena itu, tidak ada khotam bagi orang setelah diriku.

Tiada keberuntungan dengan khotam bagi umat Muhammad.

Dan ilmunya kecuali diriku seorang.

Ketika sedang bersyair, Beliau mendengar bisikan:



“Apa yang kau duga dan harapkan bukan milikmu. Itu adalah milik seorang wali di akhir zaman. Tidak ada wali yang lebih mulia di sisi Alloh SWT melebihinya.” Akhirnya Beliau berkata, “Kuserahkan urusan ini kepada yang menciptakan dan mewujudkan.”

Dengan pernyataannya ini, secara langsung Syeikh Muhyiddin bin Arabi Al-Hatami telah mencabut klaimnya sebagai Khatmu Al-Auliya. Dalam arti sebagai khatmu Al-Auliya Al-kubra.

Oleh karena itulah, Beliau mengarang Kitab Anqaa-u Maghrib Fii Khatmi Al-Auliya Wa Syamsi Al-Maghrib (Bumi Maroko: Penutup Para Wali dan Mataharinya). Kitab ini telah dicetak dan disebarluaskan.

Sejak saat itu sampai abad ke-12 hijriyah tidak terdengar kembali adanya seorang wali yang mengklaim sebagai Khatmu Al-Auliya. Sehingga muncul Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani.

Dalam Futuhatul Makiyah, Syeikh Muhyiddin Ibnu Arabi Al-Hatami memberikan keterangan tentang identitas Khatmu Al-Auliya. Beliau mengatakan, “Saya telah berjumpa dengannya (Khatmul Auliyail Muhammadi) secara barzakhiyah pada tahun 595 H. Saya melihat tanda yang disembunyikan Alloh dari hamba – hamba-Nya. Dia berada di Fas, Maroko. Saya melihat tanda Khatmul Auliyail Muhammadi darinya. Dia akan mendapat banyak cobaan karena banyak ilmu-ilmu robbani (ketuhanan) yang mendalam.

6. Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Adalah seorang waliyulloh yang agung dengan predikat Al-Quthbaniyatul Udzma Al-Kamil Al-Jami’. Beliau telah dikukuhkan sebagai Khatm Al-Auliya oleh Rasululloh SAW secara langsung.

Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani mengatakan bahwa Sayid Al-Wujud (Rasululloh SAW) telah mengabarkan kepadanya dalam keadaan jaga bahwa dirinya adalah Al-Khatim Al-Muhammadi yang telah diketahui seluruh wali kutub dan shidiqin. Bahwa tidak ada lagi maqam di atasnya dalam persoalan samudra Ma’rifat Billah.

Beliau juga mengatakan, “Sayid Al-Wujud (Rasululloh SAW) telah memberitahukan kepadaku bahwa sesungguhnya diriku adalah Al-Quthb Al-Maktum darinya dengan musyafahah (berhadapan) dalam keadaan jaga, bukan dalam keadaan tidur.”

Ketika diajukan pertanyaan kepada Syeikh Ahmad At-Tijani tentang, “Apakah arti Al-Maktum ?”. Beliau menjawab, “yaitu wali yang disembunyikan oleh Alloh SWT dari seluruh makhluk. Termasuk dari para malaikat dan para nabi. Kecuali kepada Rasululloh SAW. Rasululloh mengetahui dirinya dan keadaannya.”

Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani berkata:



Saya adalah sayidul auliya seperti halnya Nabi Muhammad SAW adalah sayidul anbiya.

Dalam Ad-Durr Al-Mandhum, Beliau menegaskan posisinya dalam berbagai surat-suratnya kepada beberapa sahabatnya, “Sesungguhnya kedududkan kami di sisi Alloh di akhirat tidak dapat dicapai oleh seorang wali pun sejak berakhirnya masa sahabat sampai ditiupnya sangkakala. Tidak seorang wali pun yang dapat menyusul kedudukan kami atau mendekatinya. Karena memang sangat jauh dari beberapa tujuannya. Saya tidak berkata demikian kecuali setelah kudengar langsung secara hak dari Rasululloh SAW. Tidak ada seorang wali pun yang dapat memasukkan seluruh sahabatnya ke sorga tanpa hisab dan siksa, meskipun melakukan dosa dan maksiat kecuali hanya diriku. Dan Rasululloh SAW telah menanggung perkara mereka, yang tidak dapat kuterangkan. Perkara ini tidak dapat dilihat dan diketahui kecuali di akhirat. Bersamaan dengan ini semua, bukan berarti kami meremehkan kemuliaan sa-da-tu l-auliya. Kami pun tidak merendahkan keagungannya. Maka agungkanlah kemuliaan para wali yang hidup atau pun yang telah wafat. Sesungguhnya siapa yang mengagungkan kehormatan mereka, maka Alloh akan mengagungkan kehormatannya. Dan siapa yang merendahkan mereka, maka Alloh menghinakannya dan murka kepadanya. Janganlah kalian meremehkan kehormatan para wali.”

Pada kenyataannya, setiap wali yang pernah menyatakan dirinya Khatm Al-Auliya banyak yang mencabut kembali pernyataannya. Mereka yang telah menyatakannya pun hanya pada batas tertentu (wilayat Al-khusus). Bukan secara umum dan luas (a-mmah) dan menutup kewalian (dalam arti yang mencapai kedudukan sempurna) yang terakhir. Karena Khatmat Al-Kubra (kesempurnaan paripurna terbesar) hanya akan muncul di akhir zaman.

Di samping itu, maqam (kedudukan) Al-Khatmu adalah kedudukan yang sangat tinggi yang sulit untuk dicapai seseorang, kecuali telah sampai pada maqam (kedudukan) kutub. Sedangkan kutub sendiri merupakan kedudukan yang sangat tinggi. Dalam tiap zamannya, seorang wali kutub merupakan sosok yang mengumpulkan ahwal (beberapa kondisi kewalian), asrar (beberapa rahasia ketuhanan) dan karomah (beberapa kemuliaan perilaku) dari auliya dan arifin pada zaman tersebut. Akan tetapi, meskipun para kutub tersebut berserikat dalam pencapaian kedudukan ini, mereka berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan kekutubannya sesuai kadar masing-masing dalam pendakiannya. Sesuai urutan derajat yang mereka cakup dan kumpulkan.

Qutub tertinggi merupakan kedudukan termulia posisinya. Yaitu yang mencapai kedudukan Al-Khatmat Al-Ajall Al-Anfus (kesempurnaan jiwa tertinggi. Kedudukan inilah yang disebut dengan Al-Khatm Al-Maqom (penutup seluruh kedudukan) di antara orang-orang khos. Dalam Ad-Durr Al-Mandhum, pada bab Titimmatu s-sa-disah (penutup keenam), tentang kedudukan khatmah (penutup/pamungkas), Imam As-Sya’roni telah membicarakan kedudukan Al-Muhammadi. Bahwa kedudukan ini merupakan kedudukan yang tidak mungkin dicapai seseorang kecuali telah melewati 247.799 hijab. Dan ini tidak terjadi pada tiap wali.

Dalam Ar-Risalat Al-Mubarakah, Imam Asy-Sya’rani telah menerangkan ilmu-ilmu khos auliya. Bahwa beberapa ilmu tentang sifat-sifat khatim Al-auliya ada dalam tiap kurun dan akan ditutup oleh penutupnya yang terbesar (khatim Al-akbar). Seperti halnya Nabi Muhammad SAW telah menutup nabi-nabi sebelumnya. Khatim AL-Akbar yang menjadi penutup maqam Muhammadi tersebut, tidak lain adalah Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Sesuai penyampaian Rasululloh SAW. Kedudukan ini selanjutnya tidak akan pernah dicapai oleh seorang pun setelahnya. Seperti telah disampaikan oleh Sayyid Muhammad Al-Kansusi, salah seorang Khalifah At-Tijani.

Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani menerangkan tentang hakikat wilayah. Bahwa wilayah terbagi menjadi dua, yaitu: Wilayah ‘A-mmah (umum) dan Wilayah Khosh-shoh (khusus). Wilayah ‘a-mmah ialah wilayah sejak Nabi Adam a.s. sampai Nabi Isa a.s.. Sedangkan Wilayah Khosh-shoh ialah sejak Rasululloh Saw sampai Al-Khatmu (penutup). Arti dari khosh-shoh adalah wali yang berakhlak dengan akhlak Al-Hak yang berjumlah 300 akhlak secara sempurna. Sebagaimana sabdanya:



Sesungguhnya Alloh memiliki 300 akhlak. Siapa yang berakhlak dengan salah satunya, maka Alloh memasukkannya ke dalam sorga.

Akhlak Ilahiyah ini hanya terkumpul sempurna dalam diri Rasululloh SAW dan wali-wali kutub sebagai pewarisnya sampai Wali Qutub Penutup. Mereka dinamakan Al-Muhammadiyyiin. Secara hukum, kedudukan wali qutub penutup/Al-Khatmu merupakan hukum waris dari Nabi SAW kepada wali-wali qutub Al-Muhammadiyyin yang telah berakhlak dengan 300 akhlak Ilahiyah. Mereka adalah orang-orang besar golongan qutub ahli wilayah batin yang khos-shoh. Karena wilayah telah terbagi menjadi wilayah dlahir dan wilayah batin. Wilayah dlahir berkecimpung dalam pengaturan pemerintahan dan perkara lahir. Wilayah dlahir akan ditutup oleh Imam Mahdi L-Muntadhar yang akan muncul di akhir zaman.

Wilayah batin bergerak dalam pengaturan batin. Wilayah batin ini pun terbagi dua, yaitu wilayah‘a-mmah (umum) dan khosh-shoh (khusus). Wilayah ‘a-mmah ialah wilayah sejak Nabi Adam a.s. sampai Nabi Isa a.s. Sedangkan wilayah khosh-shoh ialah wilayah sejak Rasululloh SAW sampai Al-Khatm Al-Akbar (penutup qutub terbesar). Seluruh wali qutub yang telah idrak (menemukan) kedudukan Khatm Al-Quthbaniyah (kesempurnaan qutub) adalah Ahli Wilayah (Batin Khosh-shoh(. Tiap wali yang telah mencapai kedudukan khatmiyah (kesempurnaan) dinamakan wali khatam. Sehingga muncul Al-Khatm Al-Akbar yang akan menutup wilayah khosh-shoh sebagai puncaknya. Al-Khatm Al-Akbar hanya ada satu dalam satu zaman, yaitu sejak Nabi SAW. Di mana hatinya berada dalam hati Nabi Muhammad SAW.

Kedudukan khatm Al-auliya Al-kubra sebagai al-quthb Al-maktum merupakan kedudukan qutub terakhir yang disembunyikan Alloh SWT dari seluruh makhluk. Kecuali kepada Rasululloh SAW. Sepanjang catatan, tidak ada seorang wali pun yang mengklaim dirinya sebagai al-quthb Al-maktum. Sehingga muncul Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Dalam hal ini Beliau berkata:



“Sayidul wujud (Rasululloh SAW) telah mengabarkan kepadaku bahwa sesungguhnya diriku adalah al-quthb al-maktum darinya dengan dengan musyafahah (berhadapan) dalam keadaan jaga, bukan dalam keadaan tidur.”

Ketika diajukan pertanyaan kepada Syeikh Ahmad At-Tijani tentang, “Apakah arti Al-Maktum ?” Beliau menjawab:



“Ialah seorang wali yang disembunyikan oleh Alloh SWT dari seluruh makhluk. Termasuk dari para malaikat dan para nabi. Kecuali kepada Rasululloh SAW. Rasululloh mengetahui dirinya dan keadaannya. Ia memperoleh tiap kesempurnaan ilahiyah yang ada pada seluruh wali”

Al-maktu-m secara etimologi berasal dari ك – ت – م . Artinya yang dirahasiakan dan tersembunyi. Sedangkan al-maktu-m secara istilah, sebagimana dalam Bughyah: 147 adalah seorang wali kutub yang dirahasiakan dan disembunyikan sosoknya oleh Alloh SWT dari seluruh makhluk. Kecuali Rasululloh SAW. Pemilik kedudukan ini mutlak pilihan Alloh SWT.

Al-maktu-m adalah kedudukan yang sangat khusus dan tertinggi. Tidak ada kedudukan lagi di atasnya dari beberapa kedudukan arifin dan shidiqin kecuali kedudukan sahabat. Kedudukan suhbah (sahabat) merupakan kedudukan yang tidak dapat dilampaui keutamaannya kecuali oleh para nabi.

Dalam Al-Jami’ Lima Af-taraa Min Durari Al-‘Ulu-m Wal Fa-idhatu Min Bahri Al-Quthbi Al-Maktu-m, Sayid Muhammad bin Al-Misyri As-Saba-ihi, salah seorang khasanah rahasia Syeikh Ahmad At-Tijani menjelaskan: “Kesimpulannya adalah bahwa sebagaimana hakikat sosok Nabi Muhammad SAW yang hanya diketahui oleh Alloh SWT dan Nabi sendiri. Artinya tidak diketahui oleh seluruh nabi dan rasul lainnya. Demikian pula al-quthbu al-maktum. Hakikat sosoknya disembunyikan tidak diketahui oleh seorang pun kecuali Alloh SWT dan Rasululloh SAW. Dan Alloh memperlihatkan kepada pemiliknya. Tidak ada jalan kepada para wali lainnya melihat kedudukan tersebut.

Syeikh Muhyiddin bin Arobi Al-Hatam mengaku telah melihat kedudukan al-maktu-m dengan bashirahnya (mata hati), namanya, negaranya, tempatnya dan keadaannya. Tidak lebih dari itu. Karena selanjutnya, Beliau menyerahkan kembali urusan Al-khatimatu Al-Kubra Al-Muhammadi kepada Alloh SWT tidak memperdalam pembahasannya.

Kedudukan al-maktum itu diberikan oleh Rasululloh SAW kepada Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani. Dalam hal ini, Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani memperoleh tiga penobatan oleh Rasululloh SAW, yaitu:

1. Kedudukan Al-Quthbaniyah Al-Udzma (kutub terbesar). Yaitu pada awal-awal Muharrom 1214 H.

2. Kedudukan Khatimah Al-Muhammadiyah (penutup kewalian yang secara sempurna mengambil asror Nabi Muhammad SAW) pada hari yang sama.

3. Kedudukan Al-Katimah Al-Khash (wali khos yang tersembunyi). Yaitu pada tanggal 18 Shafar 1214.

Sebagian di antara keistimewaan kedudukan al-maktum adalah bahwa Al-Haq bertajalli 100.000 kali dalam kejap pertamanya. Di mana dalam satu tajalli diberikan 100.000 macam anugerah seperti yang diberikan kepada penduduk sorga. Kemudian dalam kejap selanjutnya diberikan kesabaran menghadapai beberapa tajalli-Nya. Demikian terus menerus tanpa ada batasnya.

Al-maktum juga merupakan sumber Faidh (cucuran rahmat) yang berupa Imdad (pertolongan) yang dilakukan oleh para qutub untuk seluruh alam semesta. Tanpa disadari karena adanya penghalang/hijab, para qutub telah mengambil perantaraannya dalam memberikan Faidh.Al-maktum memberikan Faidh Hakikatul Muhammadiyah kepada mereka dalam hidupnya. Nisbat para qutub dengan al-maktum adalah seperti nisbat orang umum kepada qutub sendiri. Karena kedudukan al-maktum dalam kegaibannya tidak diketahui oleh seorang pun. Baik di dunia, maupun di akhirat.

Dalam kesempurnaan kedudukannya tidak bisa dibandingkan dengan seluruh kedudukan lainnya. Seperti kedudukan Rasululloh SAW yang mencakup seluruh kedudukan kenabian. Karena tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikatul muhammadiyah kecuali Alloh SWT. Demikian pula al-maktum. Dia telah menjadi penolong pada seluruh wali dalam zaman dahulu dan zaman kemudian. Hakikatnya tidak dapat diketahui siapa pun, kecuali Alloh dan Rasululloh SAW.

Syeikh Ahmad bin Muhammad At-Tijani telah meminta kepada Rasululloh SAW untuk mengumpulkan seluruh Kedudukan qutbaniyah dan Fardaniyah. Rasululloh SAW mengabulkan permintaan tersebut dan menjaminnya. Sebagaimana yang disampaikan Abul Mawahib Al-Arabi bin Sa-ih. Kedudukan Fardaniyah merupakan kedudukan para shadiqin dan kenabian (di luar risalah) dan lainnya. Dalam arti dalam dirinya terkumpul segala hal yang telah dikhususkan untuk mereka. Bersamaan dengan itu melebihi mereka dari sisi lainnya. Yaitu dari sisi jami’nya.

Al-Faidh Ar-Robbani, Al-Ustadz Idris bin Muhammad bin Abid Al-Husaini Al-Iroqi, Hal.: 129-130, Manuskrip.

Ibid, Hal.: 130.

Ibid, Hal.: 131.

Ibid, Hal.: 132.

Ibid, 130.

Ibid, 132.

Sayyidul Auliya Syekh Ahmad At-Tijani, H. A. Fauzan fathulloh, Hal.: 65, Manuskrip.

Al-Faidh Ar-Robbani, Al-Ustadz Idris bin Muhammad bin Abid Al-Husaini Al-Iroqi, Hal.: 136, Manuskrip.

Ibid.

Sayyidul Auliya Syekh Ahmad At-Tijani, H. A. Fauzan fathulloh, Hal.: 73, Manuskrip. Rimahu hizbi R-Rohim, Sayid Umar bin Sa’id Al-Fauthi At-Thuri, J.: 2, Hal.: 14, Shohibul Maktabah Khodimu T-Thorikoti T-Tijaniyah, 1405 H. / 1984 M.

Ibid.

Ibid, Hal.: 74. Aqwaalu L-Adillah Wa L-Barohin, Hal.: 17.

Al-Faidh Ar-Rabbani, Al-Ustadz Idris bin Muhammad bin Abid Al-Husaini Al-Iroqi, Hal.: 137, Manuskrip.

Rimahu hizbi R-Rahim, Sayid Umar bin Sa’id Al-fauthi At-Thuri, J.: 2, Hal.: 15, Shohibul Maktabah Khadimu T-Thariqati T-Tijaniyah, 1405 H. / 1984 M.

Ibid.

Al-Faidh Ar-Rabbani, Al-Ustadz Idris bin Muhammad bin Abid Al-Husaini Al-Iroqi, Hal.: 137, Manuskrip.

Rimahu hizbi R-Rahim, Sayid Umar bin Sa’id Al-fauthi At-Thuri, J.: 2, Hal.: 14, Shahibul Maktabah Khadimu T-Thariqati T-Tijaniyah, 1405 H. / 1984 M.

Al-Faidh Ar-Rabbani, Al-Ustadz Idris bin Muhammad bin Abid Al-Husaini Al-Iroqi, Hal.: 133, Manuskrip

Al-Faidh Ar-Rabbani, Al-Ustadz Idris bin Muhammad bin Abid Al-Husaini Al-Iroqi, Hal.: 135, Manuskrip.

Rimahu hizbi R-Rahim, Sayid Umar bin Sa’id Al-fauthi At-Thuri, J.: 2, Hal.: 13, Shohibul Maktabah Khodimu T-Thariqati T-Tijaniyah, 1405 H. / 1984 M.

Al-Faidh Ar-Rabbani, Al-Ustadz Idris bin Muhammad bin Abid Al-Husaini Al-Iroqi, Hal.: 136, Manuskrip.

Rimahu hizbi R-Rohim, Sayid Umar bin Sa’id Al-fauthi At-Thuri, J.: 2, Hal.: 15, Shohibul Maktabah Khodimu T-Thorikoti T-Tijaniyah, 1405 H. / 1984 M.

Al-Faidh Ar-Rabbani, Al-Ustadz Idris bin Muhammad bin Abid Al-Husaini Al-Iraqi, Hal.: 134, Manuskrip.

Ibid, Hal.: 135.

Rimahu hizbi R-Rahim, Sayid Umar bin Sa’id Al-fauthi At-Thuri, J.: 2, Hal.: 15, Shahibul Maktabah Khodimu T-Thariqati T-Tijaniyah, 1405 H. / 1984 M.

Al-Faidh Ar-Rabbani, Hal.: 143.

Ibid, Hal.: 144.

Ibid.

Ibid, Hal.: 152.

Bughyatul Mustafidh, Hal.: 149.

kreditasi
---------
http://ppalumm.wordpress.com/2009/02/27/260/

2 comments: