Sunday, February 27, 2011

Sejarah Insan Kamil : Hakikat Nur Muhammad

Sejarah Haqiqat Al-Muhammadiyah

Nur Muhammad adalah salah satu teori dan tema pokok (kalau bukan satu-satunya tema pokok) dari profetologi tasawuf yang dikenal sejak masa awal Islam hingga abad modern ini.[1]

Nur Muhammad telah dikenal sejak Nabi masih hidup. Ketika itu, Jabir bin Abdullah bertanya kepada Nabi Muhammad saw. Tentang apakah yang paling awal diciptakan oleh Allah Swt. Nabi menjawab:

ياجابر ان الله اتعالى خلق قبل الاشياء نور نبيك مِنْ نُوْرِهِ.

Artinya: “Ya jabir, sesungguhnya Allah swt; sebelum menciptakan segala sesuatu lebih dahulu diciptakan cahaya Nabimu (Nur Muhammad) dari Nur Allah.” ( HR. Abd al-Razzaq al-San’any)”.[2]

Belakangan Nur Muhammad sebagai konsep dilontarkan oleh al Hallaj. Sebelumya, Nur Muhammad juga pernah di ungkapkan oleh Dzun Nun Al-Mishri (w. 283 H /860 M), seorang sufi penggagas teori al-Ma’rifah. Ia berpendapat bahwa : “… asal mula ciptaan Allah (makhluk) adalah Nur Muhammad.”

Pemikiran semacam ini juga dapat di jumpai pada pendapat Abu Muhammad Sahl Ibn Abdullah al-Tusturi, salah seorang sufi yang wafat pada tahun 283 H.[3]

Dari rentetan uraian tersebut secara sejarah, teori Nur Muhammad ini nampaknya sudah muncul akhir abad kedua Hijriyah, meskipun masih dalam bentuk peristilahan harfiah semata. Namun demikian, pemikiran awal yang dapat dipertimbangkan adalah bahwa esensi kata Nur Muhammad dijadikan pijakan dasar bagi asal mula kejadian alam semesta ini. Tatanan pemikiran itu walaupun belum merupakan suatu konsep yang lengkap dan utuh, tetapi pada dasarnya memiliki kesesuaian dengan sebuah teori yang kemudian ditampilkan oleh al-Hallaj.

Al-Tusturi merupakan orang pertama yang mengajari al-Hallaj mengenai dasar-dasar suluk (jalan menuju kesempurnaan batin). Oleh karenanya, tidaklah mustahil jika teori yang dikembangkan al-Hallaj merupakan tindakan lanjut dari pendapat al-Tusturi.
Di sisi lain, meskipun istilah Nur Muhammad tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, namun di duga keras para ahli sufi mengambil pijakan argumentasi dari firman Allah swt.
Allah (pemberi) Nur (cahaya) kepada langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah laksana Misykat (lubang yang tak tembus), di dalamnya berada pelita besar (mishbah). Menurut al-Tusturi, maksud kata matsalu Nuri-hi, perumpamaan cahaya (Nur)-Nya, adalah perumpaan Nur Muhammad saw.[4]

Sedang Ibn ‘Arabi menginterprestasikan dengan ruh al-alam, suatu padanan makna dari term Nur Muhammad. Menurut Ibnu Arabi yang pertama-tama diwujudkan Allah adalah Nur Muhammad atau Haqiqat Muhammad. Ia memberikan nama tidak kurang dari sepuluh yang identik dengan Haqiqat Muhammad ( al-haqiqah al-Muhammadiyyah ), ( The Reality of Muhammad ) yaitu : Haqiqah al-Haqaiq ( The Reality of Reality ), Ruh Muhammad ( The Spirit of Muhammad ), al-Aql al-Awwal = Plotinus Nous ( The First Intelectual ), al-Arash ( The Throne ), al-Ruh al-‘Azam ( The Most Might Spirit ), al-Qalam al-A’la ( The Most Exalted ), al-Khalifah ( The Vicegerent ), al-Insan al-Kamil ( The Perfect Man ), Azl al-‘Alam ( The Origin of Universe ), Adam al-Haqiqi ( The Real Adam ), al-Barzakh ( The Intermediary ), Falaq al-Hayah ( The Spere of Life ), al-Haq al-Makhluq bih ( The Real Who Is The Instrument of Creation ),al-Hayula ( The Prima Matter ), al-Ruh ( The Spirit ), Al-Qutb ( The Pole ), Abd al-Jami’ ( The Servant of The Embracing )dan sebagainya. Nur Muhammad bertajalli dari Nur Zat-Nya. Nur Muhammad merupakan wadah tajalliyang paling sempurna dan karena itu ia dipandang sebagai Khalifah Allah atau Insan Kamil yang paling khas.[5]

Selain Hallaj dan Ibn ‘Arabi, muncul tokoh lainnya, yaitu Abd al-Karim al-Jilli, pengarang kitab termasyhur, yaitu Insan al-Kamil. Ia dikenal sebagai seorang sufi dari kota al-Jilan, yang masih keturunanSyekh Abd. Qadir al-Jailani. Ia memajukan konsepinsan kamil yang pada prinsipnya tidak bertentangan dengan pendahulunya, Ibn Arabi, dalam memandang Nur Muhammad.

Kemudian yang sangat menarik untuk disimak ialah dalam perkembangan selanjutnya Syekh Yusuf Ibn Ismail al-Nabhani tampil menggagas Nur Muhammad yang berbada dengan pandangan ulama sufi sebelumnya. Gagasan-gagasan segar yang dilontarkan itu, selanjutnya dituangkan dalam karya-karyanya, antara lain:

• Jawahir al-Bihar fi fadha’il al-Nabiy al-Mukhtar.
• al-anwar al-Muhammadiyah min al-mawahib al-Laduniyah
• Hujjat Allah ‘ala al-alamin fi mu’jizat Sayyid al-muasalim.

Syekh Yusuf al-Nabhani adalah seorang tokoh Ulama yang masyhur dan berpengaruh serta dihormati pada zamannya, terutama di Libanon, negara-negara Arab pada khususnya dan negara Islam pada umumnya. Sebagai ulama yang berpengaruh dan disegani oleh pemerintah masyarakat Libanon, dia pun diangkat untuk menjabat sebagai hakim tinggi (Qadhi al-Qudhat) pada abad ketiga belas Hijriyah atau delapan belas masehi.[6]

Di era modern ini, studi tentang Nur Muhammad juga dilakukan oleh Annemarie Schimmel -seorang peneliti barat yang sangat otoritatif dalam kajian tasawuf dan sangat simpatik terhadap Islam dan Nabi Muhammad saw;- Secara khusus, ia menyebutkan bahwa Nabi Muhammad itu menempati kedudukan sebagai manusia sempurna. Allah mencipta mikrokosmos manusia sempurna atau Insan Al-Kamil.

A.Schmmel mengkaji Nur Muhammad secara khusus dalam karyanya, And Muhammad is his messenger,1993. Peneliti kawakan yang sudah pernah berkunjung ke Indonesia ini, menelusuri berbagai pandangan para sufi tentang Nur Muhammad. Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam tradisi dan khazanah tasawuf sangat kaya dengan informasi Nur Muhammad. Kajian Nur Muhammad telah mengalami perkembangan dan pemaknaan yang demikian pesatnya.[7]

Braginsky lebih tegas lagi menyatakan hubungan Nur Muhammad dengan Nabi Muhammad saw, sendiri sebagai berikut:

Nabi Muhammad sebagai haqiqat Muhammad atau Nur Muhammad (Muhammad sebagai logos) menjadi perantara dalam proses Penciptaan itu. Dia menghubungkan al-Khalik, yang tidak mungkin terjangkau dengan manusia.Seperti batang yang menjadi penyangga dahan-dahannya. Nur Muhammad, yang melaluinya segenap ilmu ilahi dinyatakan untuk pertama kali, menjadi landasan bagi segala yang diciptakan sesudahnya.[8]

Syekh Yusuf al-Nabhani mengemukakan bahwa Nur Muhammad adalah makhluk pertama yang diciptakan Allah dan beredar sedemikian rupa sesuai dengan kehendakNya. Pendapat ini mengacu kepada haditsyang diriwayatkan oleh Abd al-Rozak sebagai berikut :

Abd al-Rozak telah meriwayatkan dengansanadnya yang berasal dari Jabir bin Abdullah ra. Berkata :

Saya telah mengatakan : Hai Rasulullah, Demi Bapak ku, Engkau dan Ibu, beritahukanlah kepada ku tentang sesuatu yang pertama diciptakan oleh Allah swt. Sebelum terciptanya segala sesuatu yan lainnya.

Ia menjawab : Hai Jabir, sesungguhnya Allah swt; telah menciptakan sebelum terciptanya segala sesuatu itu Nur Nabi mu yang berasal dari Nur Nya ( Nur Allah ) maka jadilah cahaya itu beredar dengan ketentuan menurut kehendakAllah, sementara pada waktu itu belum ada batu tulis, pena, surga, neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, bangsa jin, dan bangsa manusia. Maka ketika Allah ingin menciptakan makhluk Dia (Allah) membagi Nur itu menjadi empat bagian,lalu Dia menciptakan dari bagian yang pertama itu pena dan dari bagian yang kedua batu tulis, dari bagian yang ketiga Arasy, kemudian Dia membagi bagian yang keempat itu menjadi empat bagian lagi, lalu Dia menciptakan dari bagian yang pertama itu penyangga Arasy, dari bagian yang kedua itu kursi dan dari bagian yang ketiga para malaikat yang tersisa (tertinggal), kemudian Dia membagi lagi bagian yang keempat itu menjadi empat bagian lagi, lalu dari bagian yang pertama Dia menciptakan langit, dan dari bagian yang kedua Dia menciptakan bumi, dan dari bagian yang ketiga Dia menciptakan surge dan neraka, kemudian bagian yang keempat dibagi lagi menjadi empat bagian, lalu dia menciptakan dari bagian yang pertama itu cahaya penglihatan orang-orang mukmin, dan dari bagian yang kedua Dia menciptakan cahaya hati mereka yaitu berupa pengenalan ( Ma’rifat ) kepada Allah swt. Dan dari bagian yang ketiga Dia menciptakan cahaya kebahagiaan ( kesenangan ) mereka yaitu berupa hikmah tauhid ; lailaahaillallaah Muhammadurrasuulullah.[9]

Pendapat Syekh Yusuf An-Nabhani yang mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah ciptaan Allah yang beredar dan kemudian terciptalah makhluk lainnya. Selengkapnya dapat disimak pada kutipan berikut:

Kalau saudaranya bertanya, apa makna perkataan mereka bahwa sesungguhnya Nur Muhammad saw. Itu adalah ciptaan Allah yang pertama, apakah yang dimaksud penciptaan secara khusus atau maksudnya adalah pencptaan secara mutlak, maka jawabannya adalah sebagaiman yang telah dikatakan oleh al- Syekh pada bab ke enam bahwa sesungguhnya maksudnya adalah ciptaan(kejadian) yang bersifat khusus. Dan yang demikian itu adalah bahwa yang pertama diciptakan oleh Allah adalah debu halus (haba) yang pertama kali muncul di dalamnya adalah haqiqat Muhammad saw. Sebelum munculnya seluruh wujud haqiqat yang lain.[10]

Tentang awal penciptaan, Syekh Yusuf al-Nabhani juga mengutip beberapa hadits[11] yang olehnya dikategorikan sebagai hadits yang masyhur dikalangan sufi. Hadits yang dimaksud ialah :

Yang pertama di ciptakan oleh Allah adalah ruh-Ku, termasuk hadits masyhur; yang pertama diciptakan oleh Allah adalah Nur-Ku termasuk hadits Hasan; yang pertama diciptakan olehAllah adalah akal termasuk hadits masyhur.

Pada bagian lain Al-Nabhani juga mengatakan:
Sesungguhnya yang pertama diciptakan olehAllah adalah al-Haba’ dan yang pertama tampak padanya adalah haqiqat Muhammad.

Kemudian al-Nabahni menjelaskan bahwa proses awal terciptanya sesuatu di muka bumi, melalui Nur Muhammad, komentarnya:

Dan ini adalah awal maujud di alam ini, kemudian Allah menampakan diri-Nya melalui Nur-Nya pada al-Haba.

Selain kedua istilah yang digunakan tersebut, al-Nabhani juga menggunakan istilah bahwa Muhammad saw; itu adalah Nur dzat semata. Yaitu, bahwa Muhammad adalah citra Tuhan. Ia mengacu kepada sabda Nabi:

وَقَدْ قَالَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ الْمُؤْ مِنُ مِرْ اَةُ الْمُؤْمِنُ اَى هُوَ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسلَّم مِرْاَةُ رَبِّهِ.

Artinya : Rasulullah telah bersabda orang mukmin itu merupakan cermin bagi orang mukmin, artinya dia (Muhammad saw;) itu merupakan cerminan Tuhannya yang tampak di dalamnya.

Sehubungan dengan hadits tersebut di atas, dijelaskan bahwa penampakan dzat yang hakiki hanya khusus bagi Nabi Muhammad saw; :

وَاَنْ تَجَلَّى الذِاتِى الْحَقِيْقَةِ مُخْتَصٌ بِهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم لَيْسَ لِغَيْرِهِ فِيْهِ ...

Artinya: Dan bahwa tajalli (penampakan) dzat itu secara esensial (haqiqi) itu di khususkan kepada Muhammad saw., bukan untuk selainnya.

Dalam pandangan tersebut di atas bahwa mula pertama nampak dalam alam ini adalah haqiqat al-Muhammadiyyah dan al-Haba’.

Tentang awal proses dari Nur Muhamamd itu, dapat diperhatikan kutipan berikut:
Sebagai penghormatan kepada Muhammad saw., karena sesungguhnya nur-nya(Nur Muhamamd) telah berpindah dari Adam kepada Syiz, dan sebelum wafatnya dia telah menjadikannya sebagai wasiat terhadap putranya, kemudian Syiz juga telah mewasiatkan wasiat Adam tersebut kepada putranya untuk tidak Meletakan Nur ini kecuali pada wanita-wanita yang di sucikan. Dan wasiat ini senantiasa berlangsung dalam keadaan yang di pindahkan dari suatu abad ke abad yang lain sampai Allah menyerahkan (memberikan) nur itu kepada Abdul Muthalib dan putranya yaitu Abdullah.[12]

Dari uraian di atas menujukan bahwa untuk peristilahan Nur Muhammad, digunakan pula istilah lain sebagai penegas keberadaanya, yaitu ruh Muhammad, Nur-Ku, al–Aql al-Awwal, al-Haba’ istilah-istilah ini pada dasarnya disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., yang kemudian menggunakan istilah Nur Dzat atau citra Tuhan. Apabila pandangan Al-Nabhani ditelusuri, maka dapat diketahui bahwa bahasa dan istilah yang digunakannya berbeda-beda meskipun tetap menunjukan kepada makna dan pengertian yang sama, yaitu Nur Muhammad atau Nabi Muhammad saw., Bahasa atau istilah yang dimaksud adalah bersumber dari redaksi hadits yang telah disebutkan.

Dari keterangan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa pengertian Nur Muhammad itu adalah ciptaan Allah yang pertama dari Nur yaitu Dzat-Nya.Nur Muhammad itulah yang menjadi sumber makhluk (al-Maujud) dan beredar atas kehendak Allah. Nur itu di sebut juga ruh Muhammad, al-Aql al-Awwal, ruh, dan al-Haba’ semuanya di dasarkan kepada Nabi Muhammad saw., sebagai washitah (penghubung) antara Allah dan hamba-Nya.

Sejalan dengan pemikiran para sufi di atas,menurut Syekh Ahmad al-Tijani pada dasarnya ruhSayyidina Muhammad adalah awal segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan melalui perantara ruh inilah terjadi seluruh Alam.

Pada bagian lain Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan bahwa Nur Nabi Muhammad saw., telahwujud sebelum makhluk lain ada, bahkan Nur ini merupakan sumber semua Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Nur Nabi Muhammad saw., menurutSyekh Ahmad al-Tijani adalah al-Haqiqat al-Muhammadiyah.

Selanjutnya dikatakan, bahwa pada dasarnya tidak seorangpun dalam martabat al-Haqiqat al-Muhammadiyah bisa mengetahuinya secara utuh. Pengetahuan orang shalih (Wali, Sufi) terhadap al-Haqiqat al-Muhammadiyah ini berbeda-beda sesuai dengan maqamnya masing-masing. Dalam hal iniSyekh Ahmad al-Tijani mengatakan :
...طائفة غاية ادراكهم نفسه صلى الله عليه وسلم وطائفة غايةادراكهم قلبه صلى الله عليه وسلم وطائفة غاية اداكهم عقله صلى اللهعليه وسلم وطائفة وهم الاعلون بلغوا الغاية القصوى فى الادراكفادركوا مقام روحه صلى الله عليه وسلم.

“Diantara wali Allah ada yang hanya mengetahui jiwanya (al-Nafs) saja, ada juga yang sampai pada tingkat hatinya (al-Qalb), ada juga yang sampai pada tingkat akalnya (al-Aql), danmaqam yang tertinggi adalah wali yang bisa sampai mengetahui tingkat ruhnya; tingkat ini merupakan tingkat penghabisan (al-Ghayat al-Quswa).”[13]

Rumusan mengenai Ruh Muhammah, NurMuhammad, (haqiqat al-Muhammadiyyah) ditegaskanSyekh Ahmad al-Tijani melalui dua jenis shalawat yang dikembangkan dalam ajaran thariqatnya yaknishalawat Fatih dan shalawat Jauharat al-Kamal :

• Pertama, tentang Shalawat Fatih :

Berikut teks bacaan shalawat fatih :
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ لِمَااُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَاسَبَقَنَاصِرِالْحَقِّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِى اِلَى صِرَاطِك َالْمُسْتَقِيْم وَعَلَى اَلِهِ حَقَّ قَدْرِهِوَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ.

Artinya : “Yaa Allah limpahkanlah rahmat-Mu kepada Nabi Muhammad saw., dia yang telah membukakan sesuatu yang terkunci (tertutup), dia yang menjadi penutup para Nabi dan Rasul yang terdahulu, dia yang membela agama Allah sesuai dengan petunjuk-Nya dan dia yang memberi petunjuk kepada jalan agama-Mu. Semoga rahmat-Mu dilimpahkan kepada keluarganya yaitu rahmat yang sesuai dengan kepangkatan Nabi Muhammad saw”.
Syarah kandungan shalawat Fatih, walaupun shalawatnya diakui dari Nabi Muhammad saw; mencerminkan pemikiran faham tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani serta pengaruh tasawuf filsafat terhadap pemikiran Syekh Ahmad al-Tijani

Makna al-Fatih li ma Ughliq pada intinya adalah :

• Nabi Muhammad adalah sebagai pembuka belenggu ketertutupan segala yang maujud di alam.
• Nabi muhammad sebagai pembuka keterbelengguan al-Rahmah al-Ilahiyyah bagi para makhluk di alam.
• Hadirnya Nabi Muhammad menjadi pembuka hati yang terbelenggu oleh Syirik.
Sedangkan makna al-Khatimi li ma Sabaq pada intinya adalah :
• Nabi Muhammad sebagai penutup kenabian dan kerasulan.
• Nabi Muhammad menjadi kunci kenabian dan kerasulan.
• Tidak ada harapan kenabian dan kerasulan lagi bagi yang lainnya.[14]
Pemikiran-pemikiran (faham) tasawuf SyekhAhmad al-Tijani terkandung dalam penafsirannya tentang makna al-Fatih li ma Ughliq dan al-Khatimlima Sabaq. Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan bahwaal-Fatih lima Ughliq mempunyai makna bahwa Nabi Muhammad merupakan pembuka segala ketertutupanal-Maujud yang ada di alam. Alam pada mulanya terkunci (mughallaq) oleh ketertutupan batin (hujbaniyat al-Buthun). Wujud Muhammad menjadi “sebab” atas terbukanya seluruh belenggu ketertutupan alam dan menjadi “sebab” atas terwujudnya alam dari “tiada” menjadi “ada”. Karenawujud Muhammad alam keluar dari “tiada” menjadi “ada”, dari ketertutupan sifat-sifat batin menuju terbukanya eksistensi diri alam (nafs al-Akwan) di alam nyata (lahir). Jika tanpa wujud Muhammad, Alah tidak akan mencipta segala sesuatu yang wujud, tidak mengeluarkan alam ini dari “tiada” menjadi “ada”.

Syekh Ahmad al-Tijani juga mengatakan bahwa awal segala yang maujud (awal maujud) yang diciptakan oleh Allah dari eksistensi al-Ghaib adalah Ruh Muhammad (Nur Muhammad).
Selanjutnya dikatakan, bahwa dari ruh Muhammad ini kemudian Allah mengalirkan ruh kepada ruh-ruh alam. Ruh alam berasal dari ruh Muhammad,ruh berarti kaifiyah. Melalui kaifiyah ini terwujudlah materi kehidupan. Al-Haqiqat al-Muhammadiyyahadalah awal dari segala yang maujud yang diciptakan Allah dari ¬hadarah al-Ghaib (eksistensi keGhaiban). Di sisi Allah, tidak ada sesuatu yang maujud yang diciptakan dari makhluk Allah sebelum al-Haqiqat al-Muhammadiyyah ini tidak diketahui oleh siapapun dan apa pun. Di samping sebagai pembuka, Nabi Muhammad juga sekaligus sebagai penutup kenabian dan risalah. Oleh karena itu, tidak ada lagi risalah bagi orang sesudah Nabi Muhammad. Nabi Muhammad juga sebagai penutup bentuk-bentuk panampakan sifat-sifat Ilahiyyah (al-Tajaliyyah al-Ilahiyyah), yang menampakan sifa-sifat Tuhan di alam nyata ini.[15]
Kandungan shalawat fatih mengenai pemikiranSyekh Ahmad Al-Tijani tentang al-Haqiqat Muhammadiyyah lebih tampak lagi dalam Shalawat Jauharat al-kamal.

• Kedua Tentang Shalawat Jauharat al-Kamal :

Berikut teks Shalawat Jauharat al-Kamal :

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَيْنِ الرَّحْمَةِ الرَّبَّانِيَّةِ وَالْيَقُوْتَةِ الْمُتَحَقِّقَةِ الْحَائِطَةِبِمَرْكَزِالْفُهُوْمِ وَالْمَعَانِى وَنُوْرِاْلاَكْوَانِ الْمُتَكَوَّنَةِ اْلأدَمِيِّ صَاحِبِ اْلحَقِّاْلرَّبَّانِى اْلبَرْقِ اْلأَسْطَعِ بِمُزُوَنِ اْلأَرْبَاحِ اْلمَالِئَةِ لِكُلِّ مُتَعَرِّضٍ مِنَ اْلبُحُوْرِوَاْلأَوَانِى وَنُوْرِكَ اللاَّمِعِ الَّذِيْ مَلأْتَ بِه كَوْنَكَ اْلحَائِطَ بِأَمْكِنَةِ اْلمَكاَنِىاَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى عَيْنِ اْلحَقِّ الَّتِى تَتَجَلّى مِنْهَا عُرُوْشُ اْلحَقَائِقِ عَيْنِاْلمَعَارْفِ اْلأَقْوَمِ صِرَاطِكَ التَّآمِّ اْلاَسْقَمِ اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى طَلْعَةِاْلحَقِّ بِاالْحَقِّ اْلكَنْزِ اْلأَعْظَمِ إِفَاضَتِكَ مِنْكَ اِلَيْكَ إِحَاطَةِ النُّوْرِ اْلمُطَلْسَمِصَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلى آلِهِ صَلاَةًتُعَرِّفُنَا بِهَا إِيَّاهُ

Bacaan Shalawat Jauharat al-Kamal ini, tampaknya lebih menjelaskan atau menafsirkan kalimat yang terdapat dalam shalawat fatih yakni kalimat Dan lebih tampak berkait dengan konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, sebagaimana terihat dalam penafsiran kalimat-kalimat penting dari shalawat Jauharah al-Kamal, yaitu bermakna yang menjadiHaqiqat rahmat dari sifat-sifat Tuhan. bermakna Yaitu permata; Nabi Muhammad adalah permata dalam Nur dan Ma’rifahnya. bermakna bahwa permata rahmat Nabi Muhammad menjadi pusat pengetahuan; permata Nabi Muhammad adalah rahmat bermakan bahwa rahmat Nabi Muhammad seperti Nur bagi seluruh makhluk alam, termasuk manusia. Bermakna sebagai al-Haqq atau al-Haqiqat yang memiliki sifat-sifat Tuhan. Bermakna sama dengan al-haqiqat al-Muhammadiyyah.

Bermakna bahwa al-Haqiqah al-Muhammadiyyah mengaliri nurnya keseluruh lautan dan alam yang terbentang. Bermakna bahwa nur Muhammad menyinari (memancarkan sinarnya) ketempat seluruh alam bermakna bahwa Nabi Muhammad sebagai pemilik al-haqq (al-haqiqah) yang memancarkan Haqiqat-Haqiqat yang tinggi.

Bermakna bahwa al-Haqiqat al-Muhammadiyyah memancarkan al-Haqq dari zat al-Haqq, Allah . bermakna bahwa Nabi Muhammad memiliki Haqiqat ma’rifah yang paling sempurna.Bermakna Nabi Muhammad sebagai yang paling sempurna. : Bermakna bahwa Nabi Muhammad merupakan wujud yang sempurna. Misalnya, shalawattersebut mengungkapkan sifat-sifat Nabi Muhammad saw., sebagai Hakekat rahmat dari sifat-sifat Tuhan, yang merupakan pusat pengetahuan. Kemudian dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw., sebagai al-Haqiqat al-Muhammadiyyah yang memiliki sifat Tuhan, yang mengalir dan menyinari keseluruh alam. Selanjutnya dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw., sebagai wujud yang paling sempurna[16].

Hal ini, menunjukan bahwa dari aspek pemikiran,Syekh Ahmad al-Tijani menganut tasawuf falsafi sedangkan konsep-konsep dasar tasawufnya : nur Muhammad, Ruh Muhammad, al-Haqiqat al-Muhammadiyyah. Dengan demikian, bahwa corak pemikiran tasawuf yang dianut oleh Syekh Ahmad al-Tijani adalah corak pemikiran tasawuf yang besumber dari hadits nabi yang diriwayatkan oleh Jabir -sebagaimana telah disebutkan- kemudian dikembangkan oleh ‘Abd al-Karim al-Jili dengan konsep dasar al-Insan al-Kamil, yang berasal dari Ibn Arabidengan konsep Haqiqat al-Muhammadiyah-.

Dalam memposisikan Haqiqat al-Muhammadiyyah, lebih lanjut Ibn Arabi menjelaskan bahwa semua Nabi as., semenjak Nabi Adam as., sampai Nabi Isa ibn Maryam as., semuanya mengambilal-Nubuwwah (ke-Nabian) dari tempat cahaya Khatm al-Nabiyyin yakni Nabi Muhammad saw., sekalipun wujud jasmaninya di akhir. Sebab pada HakekatnyaKhatm al-Nabiyyin telah wujud.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. :
كُنْتُ نَبِيًا وَآدَمَ بَيْنَ المَاءِ وَالطِِّيْنِ.

Artinya : “Aku telah menjadi Nabi Ketika Adam as., masih berada antara air dan tanah”.[17]

Dalam memahami sabda Nabi saw., ini, Ibn Arabi menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw., telah diangkat jadi Nabi sebelum lahirnya jasad Beliau di dunia ini, dan Beliau mengetahui ke-Nabiannya, dengan demikian secara Hakekat bahwa Nabi Muhammad saw., sejak di Alam arwah telah berfungsi sebagai Rasul kepada ummat manusia sejak awal manusia melalui para nabi dan Rasul-rasul-Nya.[18]

Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kenabian para nabi dan kerasulan para rasul merupakan pelaku yang dipilih Allah untuk menjalankan roda kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw.,Karena Nabi Muhammad saw., telah diangkat menjadi Nabi dan berfungsi sebagai Nabi sejak di alam arwah.

Semua nabi sejak Nabi Adam as., sampai terakhir Nabi Isa Ibnu Mariyam as., memperoleh anugerah, martabat, ilmu dari masyrab Nabi Muhammad saw., ( Al-Masyrabunnabawi, sumber kenabian), sekalipun Beliau lahir secara jasmani di akhir. Dalam menggambarkan posisi Nabi Muhammad,Syekh Umar Ibn Faridl yang bergelar Sulthanul ‘Usysyaq ketika fana’’ dan istighraq dalam diri Nabi (fi Dzatin Nabi saw.,) bersyair sebagai alih bahasa tentang kedudukan Nabi Muhammad saw., sebagai berikut :
وانى وان كنت ابن ادم صو رة * فلى فيه لعنى نا هو بابوتى

Artinya: “Dan aku ini sekalipun rupa jasad anak nabi adam, namun di dalam mengandung ma’na yang menjelaskan, bahwa ’’aku adalah ayahnya’’.[19]
Peran ruhani nabi Muhammad dalam kapasitasnya sebagai Haqiqat al-Muhammadiyah tersirat dalam firman Allah swt ; berikut :
وفا ا رسلنا ك ا لا كا فة للنا س بسيرا ولكن ا كرا لنا س لا يعلمون
Artinya : Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pembawa peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (QS. Saba’/34 :84 )

Secara fisik Nabi Muhammad Saw., lahir diakhir. Oleh karena itu, secara syari’at, Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi ketika turunnya Lima Ayat darisurat al-‘Alaq di Gua Hira yakni pada hari Senin 17 Ramadhan atau tanggal 6 Agustus tahun 600 M., ketika itu Beliau berumur 40 tahun Komariyah 6 Bulan 8 Hari kemudian 3 tahun kemudian diangkat menjadi Rasul terakhir melalui turunnya Surat al-Mudatstsir.

Disinilah keunggulan Syekh Ahmad Al-Tijani, dan hal ini, lebih mengukuhkan dirinya tentang kepemilikannya terhadap maqam wali khatm sebagai mana pembahasan tadi.

________________________________________
[1] Sahabuddin : Menyibak Tabir Nur Muhammad (Jakarta : Renaisance, 2004) hlm.5
[2] Muhyiddin Ibn Arabi’, Fusus .op.cit. hlm. 80. Lihat juga : An-Nabhani,loc.cit.
[3] Sahabuddin, op.cit.hlm.6
[4] Ibid, hlm.9
[5] Ibid, hlm.29
[6] Ibid, hlm.10
[7] Annemarie Schimel, op.cithlm.80
[8] Sahabuddin, op.cit, hlm 19
[9] Syekh Yusuf An-Nabhani : Al-Anwar Al-Muhammadiyah.( Indonesia : Maktabah Daar Ihiya al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.).hlm. 13.
[10] Sahabuddin, op.cit, hlm 19
[11] Ibid,hlm.20-21
Sahabuddin, op.cit, hlm 19[12]
[13] Ali Harazim, op.cit. 123.
[14] Muhammad Ibn Abdillah :Fathul Rabbania (Surabaya : Maktabah Sa’id al-Ibn Nabhan,t.th.), hlm. 45.
[15] Ibin 46.
[16] Ibid.hlm.78
[17] Lihat : al-Gazali, al-Haqiqat fi Nazr al-Gazali, (Beirut : Dar al-Ma’arif , 1971), hlm.305. Lihat juga : Ibn Arabi, Fusus.hlm.49.
[18] Ibn Arabi, Fusus.hlm.49.
[19] Fauzan,op.cit.hlm.81

Sumber:
http://arbiakbar.blogspot.com

Saturday, February 26, 2011

Penghulu Segala Selawat: Sayyidush Sholawat

Risalah kali ini adalah muqaddimah yang ditulis oleh Sayyidi As-Syarif Ahmad Al-Hadi Al-Hasani Al-Maghribi di dalam kitab Sayyidush Sholawat yang saya naqalkan dan terjemahkan ke bahasa Melayu untuk manfaat kita bersama.

بسم الله الرحمن الرحيم
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ لِمَا أ ُغْلِقَ. وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ. نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ. وَالْهَادِى إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيمِ. وَعَلَى آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيمِ.

Segala puji bagi Allah yang membuka daripada kunhil ghoib akan tampalan kaa-inaat. Dan menjadikan asal kunhi itu dan timbulnya akan Nur Hakikat Sayyidina Muhammad. Maka adalah Nur Hakikat Sayyidina Muhammad itu asal Maujudaat. Maka mengada daripada Maujudaat dengan KekuatanNya yang bangsa Qudsi dan KalamNya yang bangsa Azali, fitrah semula jadi anak Adam. Dan menjadikan rangka fitrah anak Adam rupa alam dan mengajarkan anak Adam akan Asma’ sekeliannya. Dan menjadikan anak Adam daripada sekelian ciptaanNya sebagai rumusanNya dan pilihanNya. Maka bagiNya pujian bahawa telah menjadikan akan Nabi yang terpilih sebagai salinan asal yang sempurna lagi agung bagi semata-mata tiada dan ada. Dan telah membuka atas kedua tangan Rasulullah itu khazanah-khazanah yang kamilah bagi kemuliaan dan kemurahan.

Dan aku bersaksi bahawa tiada Tuhan melainkan Allah yang satu pada zatNya, yang satu pada Asma’Nya dan SifatNya. Dan aku bersaksi bahawa Sayyidina Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam hambaNya dan utusanNya yang dimuliakan dan kekasihNya yang diagungkan dan NurNya yang Mutholsam dan jalanNya yang sempurna yang lurus. Telah berselawatlah oleh Allah atasnya dan atas keluarganya yang suci lagi terpilih dan pencinta Rasulullah dari golongan yang baik-baik dan begitu juga telah sejahteralah dengan sebenar-benar sejahtera.

Dan selepas itu, maka ketahuilah wahai penggemar pada hendak sampai kepada hadrat Tuan bagi segala Tuan bahawa pintu hadrat itu satu jua, iaitu kasih akan Nabi yang suka bertaubat Shollallahu Alaihi Wasallam Wa Jumlatil Ali Wal Ashhab.

Telah berkata Hujjatul Islam Mujaddidul Millah As-Syeikh Abd Wahhab As-Sya’rani As-Syafie Al-Alawiy Radhiyallahu Anhu dalam Kitab Lawaqi-’ul Anwar al-Qudsiyyah fil ‘Uhuudil Muhammadiyah :

“Ketahui wahai saudaraku bahawa jalan untuk sampai ke hadrat Allah Subhanahu Wa Taala daripada jalan berselawat atas Rasulullahi Shollallahu Alaihi Wasallam adalah sedekat-dekat jalan kepada Allah.”

Dan telah berkata olehnya lagi Radhiyallahu Anhu pada tempat yang lain.

“Maka jika membanyak oleh engkau daripada berselawat dan bersalam atasnya Shollallahu Alaihi Wasallam boleh jadi engkau sampai kepada maqam melihat Rasulullahi Shollallahu Alaihi Wassalam. Dan iaitulah cara yang dibawa oleh as-Syeikh Nuruddin as-Syuuni dan Syeikh Ahmad az-Zawawi dan as-Syeikh Muhammad bin Daud al-Manzalaawi dan satu kelompok daripada syeikh-syeikh sezaman. Maka berkekalanlah setiap daripada mereka berselawat atas Rasulullahi Shollallahu Alaihi Wasallam. Dan membersih oleh mereka daripada segala dosa(yakni berselawat) sehingga berhimpun bersama Rasulullahi Shollallahu Alaihi Wasallam secara Yaqozhoh pada bila-bila masa yang dikehendaki. Dan sesiapa yang tidak berhasil baginya akan pertemuan ini (berhimpun bersama Rasulullah) maka adalah dia hingga sekarang ini (masa tidak bertemu lagi) tidak memperbanyakkan membaca selawat atas Rasulullahi Shollallahu Alaihi Wasallam akan sebagai banyak yang dituntut bagi menghasilkan baginya maqam ini.”

Dan telah berkata Ibnu Farhun al-Qurthubi al-Maliki Radhiyallahu Anhu :
“Sesungguhnya pada selawat atas Rasulullahi Shollallahu Alaihi Wasallam ada 10 karomah :-

1. Yang terbesar dapat selawat daripada Raja Yang Maha Gagah.
2. Mendapat syafaat Sayyidina Muhammad.
3. Mengikut sunnah Malaikat.
4. Menyalahi orang-orang Munafik dan Kuffar.
5. Memadamkan kesalahan dan dosa.
6. Membantu menunaikan hajat dan permintaan.
7. Menyinari zahir dan batin.
8. Kejayaan dari negeri kebinasaan.
9. Memasuki negeri yang kekal abadi.
10. Ucapan selamat dari Allah.”

Dan telah berkata as-Syeikh al-Hadhrami Radhiyallahu Anhu :
“Sesungguhnya selawat atasnya Shollallahu Alaihi Wasallam satu tangga, tempat naik, dan jalan kepada Allah Taala sekiranya tiada bagi Tholib itu Syeikh yang Mursyid.”
Dan telah berkata anak muridnya al-Wali al-Kamil Sayyidi Ahmad Zuruq al-Maliki Radhiyallahu Anhu tuan al-Qowa-idush Shufiah :

“Sesungguhnya selawat atasnya Shollallahu Alaihi Wasallam mengangkat semangat orang yang sedang berhadap jika adalah orang itu pada maqam yang terumbang-ambing kerana bahawasanya menyebut selawat itu Nur dan Hidayah.”
Dan telah berkata al-Allamah al-Kamil al-Wali al-Washil as-Syeikh as-Sunusi Radhiyallahu Anhu :

“Sesiapa tiada Syeikh yang Mursyid maka memperbanyaklah oleh dia daripada selawat atasnya Shollallahu Alaihi Wasallam. Maka sesungguhnya selawat itu menyampaikan kepada pembukaan yang nyata.”

Dan telah berkata Syeikhul Islam al-Hafidz Ibnu Hajar :
“Sesungguhnya selawat atasnya Shollallahu Alaihi Wasallam membuka kimia kejayaan akan beberapa pintu yang tidak boleh dibuka oleh yang lainnya.”

Dan terdapat didalam Bughyatus Saalik bagi Imam as-Saahili Radhiyallahu Anhu :

“Bahawa diantara sebesar-besar hasil dan sebaik-baik faedah yang diusahakan dengan selawat atasnya Shollallahu Alaihi Wasallam ialah tercetak gambar (wajah) Rasulullahi Shollallahu Alaihi Wasallam pada diri seseorang itu akan sebagai cetakan yang lekat yang berakar umbi. Dan untuk demikian itu akan menghasilkan – dengan syarat mengekali atas berselawat atasnya Shollallahu Alaihi Wasallam dengan tujuan yang ikhlas serta mengikut syarat-syarat, adab-adab dan memahami makna-makna hingga tetaplah pada seseorang itu di dalam batinnya akan sebagai tetap yang benar lagi suci – cantuman nafas orang yang berselawat dengan nafas Sayyidina Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. Dan bermesra-mesra diantara keduanya pada tempat yang dekat dan suci akan sebagai mesra yang dengan sekira-kira tidak dapat dibezakan lagi. Maka seseorang itu beserta sesiapa yang disayanginya.”

Cukuplah setakat ini kami jernihkan segala kekeruhan yang ada yang kami pindahkan daripada perkataan orang-orang yang baik-baik. Maka sesungguhnya tiada kemampuan atas hendak menceritakan kesemua keterangan mengenai perkara ini.

Dan telah memindah sekelompok orang-orang yang Muhaqqiq daripada Jumhur Arifin yang Muta-akkhirin Radhiyallahu Anhum :

“Bahawa ibu selawat dan puncanya dan ruhnya dan rahsianya, selawat yang dinamakan dengan al-Yaquutatil Faridah dan masyhur diantara manusia dengan Selawat al-Fatih. Dan mengisyaratkan kepadanya di sisi pemimpin al-Arifin dengan pembukaan Hakikat Muhammadiyyah. Dan orang yang pertama menimbulkannya ialah al-Qutbil al-Kamil as-Syeikh al-Washil, pensyarah titik ba’ pada basmalah di dalam 2000 majlis, Muhammad Mushthofa al-Bakri as-Shiddiqi al-Kholwati Radhiyallahu Anhu. Maka sesungguhnya telah bertawajjuh olehnya kepada Allah selama 40 tahun memohon bahawa diberi satu selawat yang padanya terkandung sekelian rahsia selawat. Maka datanglah Malaikat dengan cebisan kertas daripada cahaya yang ditulis padanya Selawat Fatih. Dan telah berkata olehnya Radhiyallahu Anhu : Sesiapa yang membacanya sekali seumur hidup padahal memasuki ia akan neraka maka peganglah tangan aku di hadapan Allah.”

Dan telah berkata pada Selawat Fatih oleh Umbi Kasturi dan Bulan Purnama al-Qutbil Maktum wal-Khatmil Muhammadiyyil Maklum Sayyidi Ahmad At-Tijani al-Hasani Radhiyallahu Anhu Wa Ardhohu Wa ‘Anna Bihi, memindah dari Sayyidil Wujud Shollallahu Alaihi Wasallam :

“Sesungguhnya khasiat Selawat Fatih Lima Ughliq perkara yang bangsa Ketuhanan yang tidak ada jalan untuk diterima akal. Maka jika engkau andaikan ada 100 000 umat, pada setiap umat ada 100 000 kabilah, pada setiap kabilah ada 100 000 lelaki, hidup setiap seorang daripada mereka 100 000 tahun menyebut setiap seorang daripada mereka setiap hari 100 000 selawat atas Rasulullahi Shollallahu Alaihi Wasallam daripada selawat yang lain, dan dihimpun pahala mereka kesemuanya pada selawat yang tersebut itu, tidaklah dapat menandingi sekelian pahala itu dengan satu pahala daripada Selawat Fatih.”

Maka jangan peduli pembohongan orang yang suka berbohong serta suka mencari keburukan pada Selawat Fatih. Maka sesungguhnya kelebihan itu di tangan Allah. Memberi olehNya kepada sesiapa yang dikehendakiNya. Maka sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Taala satu kelebihan yang keluar dari ruangan Qiyas.

Dan semoga Allah mengganjari daripada kita penulis tulisan ini (Sayyidish-Sholawat), ar-Rabbani al-Allamah al-Muhaqqiq keturunan Syarif As-Sayyid Kiyai Fauzan al-Jawa at-Tijani al-Muntahi yang dinasabkan kepada Sunan Ampel Radhiyallahu Anhu dan kepada Maulana Syahid Karbalak Husain Alaihis Salam. Maka sangat baik dan bermanfaat dan terang maksud pada mensyarahkan Selawat al-Yaqutah yang tersebut.

Meminta kepada Allah dengan kehormatan kunci Hadrah Kemulian dan Kemurahan
Sayyidina Muhammad yang merupakan pasak dan punca setiap yang ada bahawa membuka bagi kita dan sahabat-sahabat kita Futuh Selawat Fatih. Dan melempar akan kita pada martabat Selawat Fatih yang Batin dan martabatnya yang Batinul Batin iaitulah pembukaan Ismul A’azhom yang khas yang tersimpan pada Ismul A’azhom itu kehebatan nama Allah yang Agung lagi Diagungkan lagi yang Lebih Agung dan NabiNya yang Terpilih dan Terlebih Mulia.

Dan telah berselawat oleh Allah atas Sayyidina Muhammad Al-Fatih Lima Ughliq al-Khatim dan atas Keluarganya sesuai dengan martabat dan tingkatannya yang agung.

Sumber:
http://www.alfaatihwalkhaatim.blogspot.com

Kita hadiahkan Pahala Alfatihah dan selawat kepada Penterjemah Risalah diatas kerana beliau telah pun kembali ke Rahmatullah. Semoga beliau dikumpulkan bersama Nabi Muhammad S.A.W,Para Rasul,Para Nabi,Para Wali dan orang-orang solihin. Amin. Alfatihah.

Selawat: Beberapa Penjelasan

>Firman Allah SWT (bermaksud): “Sesungguhnya Allah dan malaikatNya berselawat (memberi segala penghormatan dan kebaikan) kepada Nabi (Muhammad s.a.w); wahai orang-orang yang beriman berselawatlah kamu kepadanya serta ucapkanlah salam sejahtera dengan penghormatan yang sepenuhnya.”

Selawat Saidina ‘Ali RA:
Saidina Ali RA membaca dan mengajar orang ramai selawat dan doa:












Ya Allah, Yang Maha Menghamparkan segala hamparan, Yang Maha menyandang segala yang ditinggikan, dan yang menetapkan hati-hati manusia mengikut fitrahnya sama ada bahagia atau sengsara; jadikanlah kemuliaan restuMu, pertambahan berkatMu dan belaian kasihMu ke atas Nabi Muhammad, hambaMu dan juga rasulMu, yang mengakhiri kepada yang terdahulu dan pembuka apa yang tertutup, dan yang menyatakan kebenaran dengan cara yang benar.

[Nahj al-Balaghah; Tafsir Ibn Kathir (tafsir ayat 56, surah al-Ahzab); Risalah Munajat Hasan al-Banna (terjemahan: http://risalahmunajat.blogspot.com/)]

* Selawat Saidina Ali ini asalnya lebih panjang dengan gaya bahasa yang tinggi.

**Ia telah diringkaskan dan dipermudahkan dengan Selawat Fatih. Nabi s.‘a.w bersabda mengenai Saidina Ali: “Saya adalah Kota Ilmu, manakala ‘Ali adalah pintunya.. Sesiapa yang inginkan masuk ke kota tampillah ke pintunya.” (Hadis Sahih riwayat Ibn Hibban, al-Tabarani dan al-Hakim; Mustadrak ‘Ala al-Sahihain).

***Selawat ‘Abdullah bin ‘Abbas RA:
Kata Ibn Abbas: “Apabila kamu berselawat kepada Rasulullah s.‘a.w, perelokkanlah selawat kamu kepadanya. Kamu tidak tahu, mudah-mudah ia dibentangkan kepada Baginda.” Orang ramai berkata kepada beliau: “Ajarkanlah kami.” Kata Ibn ‘Abbas:

Ya Allah, kurniakanlah restuMu, rahmatMu dan keberkatanMu kepada penghulu para rasul, pemimpin orang bertakwa dan penutup para nabi, iaitu Nabi Muhammad, hamba dan utusanMu, pemimpin dan pembimbing kepada kebaikan serta utusan yang membawa rahmat. Ya Allah tempatkanlah Nabi Muhammad di tempat terpuji yang menjadi harapan seluruh umat terdahulu dan terkemudian.

Ya Allah, restuilah Nabi Muhammad dan keluarga Baginda sebagaimana Engkau merestui Nabi Ibrahim dan keluarga baginda. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Juga berkatilah Muhammad dan keluarga Baginda sebagaimana Engkau berkati Nabi Ibrahim dan keluarga Baginda. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.

[Riwayat Ibn Majah; Tafsir Ibn Kathir (tafsir ayat 56, surah al-Ahzab); Risalah Munajat Hasan al-Banna (terjemahan: http://risalahmunajat.blogspot.com/)]

*Abu Hurairah mengatakan ketika kematian Zaid bin Thabit: “Tinta umat ini telah mati. Mudah-mudah Allah menggantikannya dengan Ibn ‘Abbas.” (Riwayat al-Tabarani, Majma‘ al-Zawaid)

*Disamping selawat-selawat ini, terdapat banyak lagi selawat lain yang elok diamalkan. Nabi s.‘a.w sendiri tidak membatas kita mesti berselawat mengikut lafaz yang disebutkan oleh Baginda (warid). Kita dibolehkan berselawat, berzikir dan berdoa sepertimana lafaz yang diungkapkan oleh para Sahabat, Tabien dan para Solehin disamping tidak meninggalkan lafaz-lafaz yang diriwayatkan (warid) daripada Nabi s.‘a.w. Tiada dalil yang mewajibkan kita membataskan amalan tersebut pada yang warid. Perkara ini memudahkan bagi sesetengah orang yang tidak dapat menghafal.

Kelebihan Selawat:

- Diriwayatkan daripada ‘Abdul bin Mas‘ud RA: Sabda Rasulullah SAW: “Orang yang lebih utama (dekat) denganku pada hari Qiamat ialah orang yang banyak berselawat kepadaku.” (Dikemukakan oleh al-Tirmizi dengan menilainya Hasan dan Ibn ‘Asim).

- Daripada Anas bin Malik RA: Sabda Rasulullah SAW: “Sesiapa yang berselawat kepadaku sekali, Allah berselawat (memberi rahmat) kepadanya sepuluh kali dan menghapuskan sepuluh kesalahannya.” (Riwayat Imam Ahmad).

- Sabda Rasulullah SAW: “Sesiapa yang sukar menunaikan hajatnya, hendaklah ia memperbanyakkan selawat ke atasku. Sebab ia melapangkan kebimbangan, kedukacitaan, kesusahan, memperbanyakkan rezeki serta menunaikan hajat.” (Menurut al-Sayuti hadis ini adalah Sahih).

- Sabda Rasulullah SAW: “Sesiapa yang ditimpa suatu kesusahan, hendaklah ia memperbanyakkan selawat ke atasku. Sebab ia menguraikan simpulan dan melapangkan kesukaran.”

Sumber:
1.http://zikirdoa.blogspot.com
2.Afdhal al-Solawat ‘ala Saiyid al-Sadat SAW, al-Qadhi al-Syaikh Yusuf bin Isma‘il al-Nabhani

Tuesday, September 8, 2009

NUR, MATA HATI DAN HATI - 2

TERBUKA MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU AKAN HAMPIRNYA ALLAH
S.W.T. PENYAKSIAN MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU AKAN KETIADAAN
KAMU DI SAMPING WUJUD ALLAH S.W.T. PENYAKSIAN HAKIKI MATA HATI
MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU HANYA ALLAH YANG WUJUD, TIDAK TERLIHAT
LAGI KETIADAAN KAMU DAN WUJUD KAMU.

Apabila hati sudah menjadi bersih maka hati akan menyinarkan
cahayanya. Cahaya hati ini dinamakan Nur Kalbu. Ia akan menerangi
akal lalu akal dapat memikirkan dan merenungi tentang hal-hal
ketuhanan yang menguasai alam dan juga dirinya sendiri. Renungan akal
terhadap dirinya sendiri membuatnya menyedari akan perjalanan hal-hal
ketuhanan yang menguasai dirinya. Kesedaran ini membuatnya merasakan
dengan mendalam betapa hampirnya Allah s.w.t dengannya. Lahirlah di
dalam hati nuraninya perasaan bahawa Allah s.w.t sentiasa
mengawasinya. Allah s.w.t melihat segala gerak-gerinya, mendengar
pertuturannya dan mengetahui bisikan hatinya. Jadilah dia seorang
Mukmin yang cermat dan berwaspada.

Di antara sifat yang dimiliki oleh orang yang sampai kepada martabat
Mukmin ialah:
1: Cermat dalam pelaksanaan hukum Allah s.w.t.
2: Hati tidak cenderung kepada harta, berasa cukup dengan apa yang
ada dan tidak sayang membantu orang lain dengan harta yang
dimilikinya.
3: Bertaubat dengan sebenarnya (taubat nasuha) dan tidak kembali lagi
kepada kejahatan.
4: Rohaninya cukup kuat untuk menanggung kesusahan dengan sabar dan
bertawakal kepada Allah s.w.t.
5: Kehalusan kerohaniannya membuatnya berasa malu kepada Allah s.w.t
dan merendah diri kepada-Nya.

Orang Mukmin yang taat kepada Allah s.w.t, kuat melakukan ibadat,
akan meningkatlah kekuatan rohaninya. Dia akan kuat melakukan tajrid
iaitu menyerahkan urusan kehidupannya kepada Allah s.w.t. Dia tidak
lagi khuatir terhadap sesuatu yang menimpanya, walaupun bala yang
besar. Dia tidak lagi meletakkan pergantungan kepada sesama makhluk.
Hatinya telah teguh dengan perasaan reda terhadap apa jua yang
ditentukan Allah s.w.t untuknya. Bala tidak lagi menggugat imannya
dan nikmat tidak lagi menggelincirkannya. Baginya bala dan nikmat
adalah sama iaitu takdir yang Allah s.w.t tentukan untuknya. Apa yang
Allah s.w.t takdirkan itulah yang paling baik. Orang yang seperti ini
sentiasa di dalam penjagaan Allah s.w.t kerana dia telah menyerahkan
dirinya kepada Allah s.w.t. Allah s.w.t kurniakan kepadanya keupayaan
untuk melihat dengan mata hati dan bertindak melalui Petunjuk Laduni,
tidak lagi melalui fikiran, kehendak diri sendiri atau angan-angan.
Pandangan mata hati kepada hal ketuhanan memberi kesan kepada hatinya
(kalbu). Dia mengalami suasana yang menyebabkan dia menafikan
kewujudan dirinya dan diisbatkannya kepada Wujud Allah s.w.t. Suasana
ini timbul akibat hakikat ketuhanan yang dialami oleh hati.. Dia
berasa benar-benar akan keesaan Allah s.w.t bukan sekadar
mempercayainya.

Wahai sahabatku, Jangan meninggalkan zikir, kerana engkau belum selalu ingat kepada Allah di waktu berzikir, sebab kelalaianmu terhadap Allah ketika tidak berzikir lebih berbahaya daripada kelalaianmu terhadap Allah ketika kamu berzikir..

NUR, MATA HATI DAN HATI - 1

NUR-NUR ILAHI ADALAH KENDERAAN HATI DAN RAHSIA HATI. NUR ITU IALAH TENTERA HATI, SEBAGAIMANA KEGELAPAN ADALAH TENTERA NAFSU. JIKA ALLAH S.W.T MAHU MENOLONG HAMBA-NYA MAKA DIBANTU DENGAN TENTERA ANWAR (NUR-NUR) DAN DIHENTIKAN BEKALAN KEGELAPAN. NUR ITU BAGINYA MENERANGI
(MEMBUKA TUTUPAN), MATA HATI ITU BAGINYA MENGHAKIMKAN DAN HATI ITU BAGINYA MENGHADAP ATAU MEMBELAKANG.

Allah s.w.t hanya boleh dikenal jika Dia sendiri mahu Dia dikenali.
Jika Dia mahu memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya maka hati
hamba itu akan dipersiapkan dengan mengurniakannya warid. Hati hamba
diterangi dengan Nur-Nya. Tidak mungkin mencapai Allah s.w.t tanpa
dorongan yang kuat dari Nur-Nya. Nur-Nya adalah kenderaan bagi hati
untuk sampai ke Hadrat-Nya. Hati adalah umpama badan dan roh adalah
nyawanya. Roh pula berkait dengan Allah s.w.t dan perkaitan itu
dinamakan as-Sir (Rahsia). Roh menjadi nyawa kepada hati dan Sir
menjadi nyawa kepada roh. Boleh juga dikatakan bahawa hakikat kepada
hati adalah roh dan hakikat kepada roh adalah Sir. Sir atau Rahsia
yang sampai kepada Allah s.w.t dan Sir yang masuk ke Hadrat-Nya. Sir
yang mengenal Allah s.w.t. Sir adalah hakikat kepada sekalian yang
maujud.

Nur Ilahi menerangi hati, roh dan Sir. Nur Ilahi membuka bidang
hakikat-hakikat. Amal dan ilmu tidak mampu menyingkap rahsia hakikat-
hakikat. Nur Ilahi yang berperanan menyingkap tabir hakikat. Orang
yang mengambil hakikat dari buku-buku atau dari ucapan orang lain,
bukanlah hakikat sebenar yang ditemuinya, tetapi hanyalah sangkaan
dan khayalan semata-mata. Jika mahu mencapai hakikat perlulah
mengamalkan wirid sebagai pembersih hati. Kemudian bersabar menanti
sambil terus juga berwirid. Sekiranya Allah s.w.t kehendaki warid
akan didatangkan-Nya kepada hati yang asyik dengan wirid itu. Itulah
kejayaan yang besar boleh dicapai oleh seseorang hamba semasa
hidupnya di dunia ini.

Alam ini pada hakikatnya adalah gelap. Alam menjadi terang kerana ada
kenyataan Allah s.w.t padanya. Misalkan kita berdiri di atas puncak
sebuah bukit pada waktu malam yang gelap gelita. Apa yang dapat
dilihat hanyalah kegelapan. Apabila hari siang, matahari menyinarkan
sinarnya, kelihatanlah tumbuh-tumbuhan dan haiwan yang menghuni bukit
itu. Kewujudan di atas bukit itu menjadi nyata kerana diterangi oleh
cahaya matahari.

Cahaya menzahirkan kewujudan dan gelap pula membungkusnya.
Jika kegelapan hanya sedikit maka kewujudan kelihatan
samar. Sekiranya kegelapan itu tebal maka kewujudan tidak kelihatan
lagi. Hanya cahaya yang dapat menzahirkan kewujudan, kerana cahaya
dapat menghalau kegelapan. Jika cahaya matahari dapat menghalau
kegelapan yang menutupi benda-benda alam yang nyata, maka cahaya Nur
Ilahi pula dapat menghalau kegelapan yang menutup hakikat-hakikat
yang ghaib. Mata di kepala melihat benda-benda alam dan mata hati
melihat kepada hakikat-hakikat. Banyaknya benda alam yang dilihat
oleh mata kerana banyaknya cermin yang membalikkan cahaya matahari,
sedangkan cahaya hanya satu jenis sahaja dan datangnya dari matahari
yang satu jua. Begitu juga halnya pandangan mata hati. Mata hati
melihat banyaknya hakikat kerana banyaknya cermin hakikat yang
membalikkan cahaya Nur Ilahi, sedangkan Nur Ilahi datangnya dari nur
yang satu yang bersumberkan Zat Yang Maha Esa.

Kegelapan yang menutupi mata hati menyebabkan hati terpisah daripada
kebenaran. Hatilah yang tertutup sedangkan kebenaran tidak tertutup.
Dalil atau bukti yang dicari bukanlah untuk menyatakan kebenaran
tetapi adalah untuk mengeluarkan hati dari lembah kegelapan kepada
cahaya yang terang benderang bagi melihat kebenaran yang sememangnya
tersedia ada, bukan mencari kebenaran baharu.

Cahayalah yang menerangi atau membuka tutupan hati. Nur Ilahi adalah cahaya yang
menerangi hati dan mengeluarkannya dari kegelapan serta membawanya
menyaksikan sesuatu dalam keadaannya yang asli. Apabila Nur Ilahi
sudah membuka tutupan dan cahaya terang telah bersinar maka mata hati
dapat memandang kebenaran dan keaslian yang selama ini disembunyikan
oleh alam nyata. Bertambah terang cahaya Nur Ilahi yang diterima oleh
hati bertambah jelas kebenaran yang dapat dilihatnya. Pengetahuan
yang diperolehi melalui pandangan mata hati yang bersuluhkan Nur
Ilahi dinamakan ilmu laduni atau ilmu yang diterima dari Allah s.w.t
secara langsung. Kekuatan ilmu yang diperolehi bergantung kepada
kekuatan hati menerima cahaya Nur.

Ilahi.

Murid yang masih pada peringkat permulaan hatinya belum cukup bersih,
maka cahaya Nur Ilahi yang diperolehinya tidak begitu terang. Oleh
itu ilmu laduni yang diperolehinya masih belum mencapai peringkat
yang halus-halus. Pada tahap ini hati boleh mengalami kekeliruan.
Kadang-kadang hati menghadap kepada yang kurang benar dengan
membelakangkan yang lebih benar. Orang yang pada peringkat ini perlu
mendapatkan penjelasan daripada ahli makrifat yang lebih arif.
Apabila hatinya semakin bersih cahaya Nur Ilahi semakin bersinar
meneranginya dan dia mendapat ilmu yang lebih jelas. Lalu hatinya
menghadap kepada yang lebih benar, sehinggalah dia menemui kebenaran
hakiki.

Thursday, August 6, 2009

Al-Qutb Al-Kamil Abul Hassan Sidi Ali b. Aissa - Sahabat Syeikh Ahmad Tijani

Al-Qutb al-Kamil Abul Hassan Sidi Ali b. Aissa Tamasini al-Hassani (d. 1260/1845)

For nearly fifty years Sidna Shaykh Abul Abbas Mawlana Ahmed ibn Mohammed Tijani was the main active propagator of the doctrine. From his Fez headquarters, he organized the born-global Tijaniya Sufi order, which spread in easts and wests in his blessed lifetime. During the same period, some of Sidna Shaykh's appointed khalifas had established new Tijani centers abroad and developed ramifications of their own. Of these is the noted Zawiya of Tamehalt near Tamasin, which was constructed by al-Qutb Samadani Sidi Abul Hassan Ali b. Aissa Tamasini (d. 1260/1845). Upon the death of Sidna Shaykh in 1230/1815, the direction of the order in Algeria moved to two blocks. Sidna Shaykh nominated Sidi Abul Hassan as a Khalifa and directed him to move his sons from Fez to the desert so that the succession should alternate between his own family in Ain Madhi and that of Sidi Ali in Tamasini.

The Allama al-Qadi Sidi Ahmed Sukayraj (d. 1355/1940) sets forth a remarkable hagiography of Sidi al-Haj Tamasin in his Kashf al-Hijab 'amman talaaqa bi-Shaykh Tijani mina-l As'hab (Rising the Veil on the Companions of Shaykh Tijani). According to the chronicle, when Sidi Ali Tamasini went to visit Shaykh Tijani he asked him to lead the prayer despite the presence of many Alim's and lot of others who deserve to lead the prayer. While leading the prayer something disturbed him, after the prayer someone asked Sidna if the prayer was valid according to the sharia, Sidna responded: "Allah has gifted this man with the Fath (spiritual opening) and the prayer behind someone who has the Fath is accepted'' this attestation of Sidna is enough to shows us the importance of his companion Tamasini. One time the servant of Sidna Sidi Tayyeb ibn Mohamed Sufyani who was in charge in the spending and the needs of the house of Sidna was asked about one of the servants who was sick: "Have you given her some medicines". He responded: "He have bought her some medicines but it hasn't take any effects maybe it would be better if we treat her with ruqiya" Sidi Tayyeb Sufyani said: “Who is going to do the ruqiya”. Shaykh Ahmad Tijani: "Sidi Tamasini is the appropriate guy for this if he is present." Sidi Tayyeb told Sidna Shaykh: "I would like you to authorize me for that because you only authorize Sidi Ali Tamasini for that." Shaykh Ahmad Tijani then repeated without stopping: "Is there someone like al-Haj Tamasini?" Sidi Tayyeb said: "Sidna keep repeating this words till I regret why I asked him that."

Sidi al-Haj Abul Hassan Tamasini had reach station that after the installation of Sidna in the city of Fez he used to come and visit Sidna by karamat of one step (for example going to one country to another by just moving one step) that caused Sidna to prevent him again from doing miracles by telling him: "If you want to come and visit me for the sake of Allah, you should come like the common people, with sandals, with a Horse, escort and feel fatigue, thirst and with fear (like the common people).

It has been also reported by particular (khassa) companions of Shaykh Tijani that one day while. He was leading the prayer with twenty and something of his companions after finishing the prayer they (companions) were surprised from the miraculous happening of dates around them when Sidna saw that they(companions) were amazed he said: "This is the act of that crazy man." When Sidna met with Sidi al-Haj Tamasini he asked him what caused him to do such act, he responded: ''O my master forgive me, in that time i was in my farm, while the farmers were collecting the dates I saw how beautiful they were. And I wanted to send some to you in the same state that caused me send them to you after reciting some secrets words for them to arrive in your hands. Sidna ordered him again not to do a similar act again. When Sidna passed away the signs of Fath al-Akbar appeared on him in such that there was no one like him, and the people used to come to visit him within all compasses to take the Tariqa, one day hundred people came to him from different sides to request the Taqdim (title of muqaddam).

Sidi al-Haj Tamasini was blessed with Mukachafa (insight) in such way that he managed (or used it the way he wanted). He used to see the Holy Prophet Mohamed (peace and blessing be upon him) frequently. One day some people were discussing about the saints having visions of the holy prophet saw, at hearing this Sidi al-Haj Tamasini said: ''There are some saints on our time that there is nothing they can do small or big without having the authorization of the holy prophet saw in real vision and not in dream''. All the people that were present understood that he was referring to himself. Sidi al-Haj Tamasini never did something without asking the authorization of Sidna, and
Sidna certified him that he was the Qutb after him.

Sidi Al-Abdellawi reported: "One day he was near Sidi al-Haj Tamasini and wanted to ask him for the title of full authorization to give the wird (Tarqim Mutlack) just by having the intention come through his mind Sidi al-Haj Tamasini then looked at him back and told him you are authorized to give the Tariqa, and added I thank Allah for this immense grace. He died in the 1260 in hegira his tomb is in Algeria in one city called Tamasin. Upon the death of Sidi Ali Tamasini, the succession went to Sidi Mohammed al-Habib, and then back to the other line. No serious split in the order occurred until the death of Sidi Mohammed al-‘Eid Tamasini (d. 1290/1875), when two groups separated following a dispute over the succession. The result is that these two places came to have only a localized direct authority, and groups of their direct ramifications have made themselves independent. Leadership of the Zawiya of Tamasin had been presided mutually by Sidi Mohammed Sghir (d. 1307/1892), Sidi M'ammar (d. 1309/1894), Sidi al-‘Eid (d. 1342/1927), Sidi al-Bashir b. al-Eid (d. 1415/2000).

Kreditasi
---------
http://www.dar-sirr.com/forum/viewtopic.php?f=10&t=1197

Sidi Ali Harazim - Sahabat Syeikh Ahmad Tijani

Sidi Ali Harazim (may Allah be pleased with him)

The Wali beyond reproach, he who has access to Knowledge (ma’rifa), the great Khalif who is endowed with high station (Maqam), the gatherer of sciences and secrets, the holder of the topmost rank at the summum of the higher levels, the sun of the joy that illuminated the horizon of the higher levels, he who was never paralleled by anyone.

He was among those who had access to knowledge and perfect sainthood, and he had a high rank in the eyes of Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret), who held him in high esteem and mentioned his rank to his companions to such an extent that he was envied by those who were close as well as those who were far away.

About him Seidina Ahmed Tidjani (May Allah be pleased with him) used to say: “the Prophet (Grace and peace be upon him) said to me: ‘He is to you what Abu Bakr was to me.’ ” Among the words that the Prophet (Peace be upon him) said to Sidi Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret), one can find the following: “Oh you Ahmed! seek for advice with your servant and most valued and beloved Ali Harazim, because to you he is what Harun represented for Musa. Allah is the Most High, the Most Illustrious, the Most Immense and I shall not tell you anything else about him than this. May peace be with you.”

What caused Sidi ‘Ali Harazim (May Allah be pleased with him) to join Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) is what follows. When Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) left Tlemcen in 1191 for Fez where he had to pay a holy visit to Moulay Idriss (May Allah be pleased with him), in Oujda he met with Sidi ‘Ali Harazim (May Allah be pleased with him). The two had not met before.

Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) revealed to him by way of disclosure (Moukachafa) the very vision that Sidi ‘Ali Harazim (May Allah be pleased with him) had of him a few years back, which he was no longer remembering. He finally remembered and came to the conclusion that Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) was telling the truth. He therefore understood, with certainty, that indeed Allah had him perceive the truth through this vision.

Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) said to him: “do no worry about the fact that I had to find, which got me worn out. I wanted but this encounter, and may Allah be praised for that.” He thus said the following: “I did praise and thank Allah. I knew that Allah enormously gratified me and that Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) would be my protection, he to whom I take my affairs after he let me know about it.”

Together, they left for Fez. When they arrived at Fez, they visited the tomb of Sidi Moulay Idriss (May Allah be pleased with him). Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) passed on to him the Khalwatiyya way and taught him what the Most Praised and Most Exalted Allah revealed to him through the science and secret of the Sunna.

When Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) set out to return to Tlemcen, Sidi ‘Ali Harazim (May Allah be pleased with him) voiced his intention to be part of the trip. However, Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) advised him to go to a region that the Most Praised and Most Exalted Allah had chosen for him. After that, and after he bid him farewell, Seidina Ahmed Tidjani (May Allah be pleased him) said to him: “hold steadfastly onto the covenant and to the love (Mahaba) till you achieve spiritual opening (Fath).”

During the lifetime of Sidi Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret), Sidi ‘Ali Harazim (May Allah be pleased with him) was his khalife. The conversation they had during their first encounter demonstrates how peculiar this companion was and shows how much care the Most Praised and Most Exalted Allah had for him.

He had a lot of values, among which was the fact that Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) informed him that the Prophet (Grace and Peace be upon him) had a kind of love that surpassed the love a father could have for his children. Also, Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) said this about him: “What the khalife affirmed, I said it.”

One of the fine virtues that Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) revealed about him is the following: “he will be close to me only by the intermediary of Sidi Hajj ‘Ali Harazim.” Some people endowed with Clairevoyance (Basira), as well as all the people and companions who tasted the secret of the Tariqa believe this statement is as valid for his lifetime as it is after his death.

One can reasonably believe that the unwavering assistance of Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) is only received, whether in general or in particular, through the mediation of Sidi ‘Ali Harazim (May Allah be pleased with him), and that the latter represents Seidina (May Allah sanctify his precious secret) in the visible and sensible world after the latter’s death.

However, it is possible that there be someone to fill in his position. And to Allah (the Most Praised and Most Exalted) belongs ultimate knowledge. Therefore, one should fully have faith in both of them and also be aware that it is beneficial to consider the former as the invisible intermediary and the latter or any other person that will fill in his position after being appointed in advance by Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret). The grace of Allah (the Most Praised and Most Exalted) is unfathomable and only He knows best. One of the things that show how particular he is stems from his encounter with the companion of the Prophet (Grace and peace be upon him), the judge (Qadi) Abu Mohamed Chamharouche (May Allah be pleased with him) who was a king of the Djinns. The latter passed down to him, with the permission of Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret), Hizbou Saifi in a clear voice as was the case among the elite of the companions.

One of the things that show his high status is his contribution to the famous and noble book called Jawarihiru-l-Ma’ani about which the Prophet (Grace and peace be upon him) said: “my book is this one, and I wrote it.” In fact, once he settled down in Fez, the city protected by the Most Praised and the Most Exalted Allah, Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) ordered his closest pupil Sidi Ali Harazim (May Allah be pleased with him) to put together and compile the Jawahiru-l-Ma’ani, to organize it in chapters, to purify its topics and set its bases. However, before then, he ordered him to shred everything illustrious and Sunni that he compiled because of its majestic states (Hal) that he was going through at that time, and which were the results of his highest aspirations and his sincerity towards the Most Praised and Most Exalted, Allah.

At that time, Sidi ‘Ali Harazim (May Allah be pleased with him) complied with the commandments of Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) despite the amazement and insistence of the elite among the companions as well as those who followed the latter so that they reconsider the issue. He left behind him nothing but a few notes that could be found with some companions. When he was allowed to write book again, he used those notes to writes quite a lot chapters of the book.

Sidi ‘Ali Harazim (May Allah be pleased with him) started writing the book; i.e., assembling, organizing and fleshing out topics and chapters in Fez at the beginning of the month of Cha’ban. A year later, the book was completed in the middle of the holy month of Dhul Qa’da while Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret, and may He lavish him with the clouds of agreement) was still alive. Once he completed the book, he brought it over to him. He approved the content of the book and by his blessed hand he certified the book from cover to cover in the Diwan mosque. By the grace of the Most Gracious and Most Exalted Allah, the book was highly acclaimed and welcomed with happiness and joy, fame and repute in all the counties of the country and in other countries. To the attention of the companions whom he urged to read the book he said: “You beloved brothers, it is obligated upon you to always read this book, because, by the grace of the All-giving King of kings, when read on a regular basis, and with the sincerest love, it guarantees the attainment of the Ma’arifa (Knowledge) of the Lord of lords. It also ensures the attainment of the most beautiful truths and the rarest of subtleties and finesses, and the reaching of the Divine Presence through all the doors. Whoever loses the book, even after making a lot of efforts reading it, will have lost it his whole head with it. As for those who do not read it appropriately, they will only have themselves to blame.”

To dispel any shade of doubt away from the grandness of this magnificent book, it only suffices to know that its writing was inspired by the Prophet (Grace and peace be upon him). In addition, it was ennobled, made even more improved, illustrated, saddled with merits by the immensity of the status of Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret). Whoever intends to gauge the magnificency of the situation and the grandeur of the book will have to reach the apogee of all efforts.

Whoever reads this book will have scrutinized its content with accuracy, and will have realized with certainty that Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) has no equals in sublime and complete qualities. No one can disprove this truth in his absence, except for those who were forbidden access to his baraka and his kindness, those people whose intent is but reluctance and doubt.

Sidi ‘Ali Harazim (May Allah be pleased with him), by the Master of creation, attested to the status of Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret), which is evidence of his particular love and his exceptional sincerity. The writing of Jawahirou-l-Ma’ani is a miracle that attests to his peculiarity because the person who organized it is that he succeeded in mixing without any distinction, different arts of planning although he had no previous mastery of literary writing skills. One of the baraka of this wonderful book is the number of people it drew to the Tariqa of the Prophet (Grace and peace be upon him) through reading it or by way of just leafing through it.

I often heard one of the companions of Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret), an honourable learned man, an illustrious and noble holder of secrets, say: “it is said that this book guarantees scores of benefits, joy and an improvement of demeanor, in the place that hosts it. This truth can only be denied or underestimated by an imbecil or a rebel.” One other dazzling effects of the book is that the Guide of the living (Grace and peace be upon him) advised Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret), after he ordered that the book be written, to preserve it so that it could benefit the Walis that would come after him.

Sidi Hajj Ali Harazim (May Allah be pleased with him) also authored an epistle entitled “Risalat el Fadl wal Imtinan…” An excerpt of the book dealing with benefit and blessing goes as follows:

“Be aware that the Opening and access to Allah and to the degree of Knowledge will be granted by Allah only through the people who had the special authorization (Idhu Khass) like the necessary permission for prophecy and if it is devoid of special authorization it will have no Opening nor access from part of Allah, and the person will only reap tiredness.

As for the person who only seeks closeness to Allah through reading the Sufi books and who seek to be one with Allah through the Sufis by way of being informed by them, or by way of being close to them, will reap from this path nothing but wasted energy, and the person will get nothing from Allah.

What is meant by access is the fact of reaching the Presence of Knowledge and particularities. Rewards are obtained according to the degree of sincerity. The beginning of rectitude in obedience and constance therein, as well as worship, can only be correct and be a source of success through Knowledge. Whoever is devoid of Knowledge lacks goodness and benefits. Besides, it is upon you to know that worship is valid only through seven things:

-Intention
-Science
- Knowledge
-Law
-Truth
-Prophetic traditions (Sunna) and
-The Sheikh.”

Sidi Hajj Ali Harazim (May Allah be pleased with him) also wrote the following: “My brother, I warn you against thinking that access is slow even when you endured a lot of pain treading the Way, because such a feeling forecloses the attainment of the Hoped for. In fact, if you were walking a thousand times the duration of the life on Earth and you obtained from Allah but the quantity of an atom, you ought to know that what you obtained then was far bigger than the way you went to reach it. Also know that endurance in worship is for you an immense grace. I ask Allah to grant you the keys to wisdom and act onto us with His Grace and Kindness.”

When the Great Opening (Fath) was granted to Sidi ‘Ali Harazim (May Allah be pleased with him), Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) ordered him to travel out of the country wherein he was residing as was the case with any person that was attaining this spiritual station (Maqam). It was reported that Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) one day said: “When Allah grants the Opening (Fath) to one of my companions and if it happens that some live in the country where I reside, it is better that they leave that country for fear that evil should befall them.” That said, some companions asked him: “Is this pronouncement from you?” And he answered: “It is from Allah, without any choice of mine.” Then he added: “The fear is aimed at those whom I ordered to leave so as to spread the words. The rest of the people do not have to fear anything from me.”

Thus is the reason why Sidi Ali Harazim (May Allah be pleased with him) left for Hijaz where he died. Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) ordered him, when he arrived at Egypt, to instruct some of his companions living in that country.

Besides, Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) informed Sidi ‘Ali Harazim (May Allah be pleased with him) that he would reach a high degree and a status of the greatest significance on the condition that he went to pay a visit to the tomb of the Prophet (Grace and peace be upon him), and he was so attracted to Sidi ‘Ali Harazim’s (May Allah be pleased with him) good fortune that he nearly lost his mind.

Before he reached the tomb of the Prophet (Grace and peace be upon him) he recited few of the distinguished names that Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) had taught him to only be recited in front of the tomb of the Prophet (Grace and peace be upon him).

Thus, he saw what he saw and fainted, and his companions who thought that he had died buried him alive at Badr in 1218 H. Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) said, after these events, that: “If they had not buried him, they would have heard some sciences, some knowledge and secrets that they could not have conceived of and that they could not have found in any book.”

Sidi Hajj Abdelwahab ibn El Ahmar (May Allah be pleased with him) who was among those who accompanied him in this trip said: When Sidi Harazim (May Allah be pleased with him) recited the Supreme Names that Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) taught him to be recited only in front of the tomb of the Prophet (Grace and peace be upon him), all is energy was drained and he collapsed. Therefore, I gave him some milk to drink. He started sweating just as he drank it.” Among those whom Sidi ‘Ali Harazim (May Allah be pleased with him) met during his trip there was Sidi Ibrahim Riyahi (May Allah be pleased with him), the famous learned Sheikh El Islam of Tunisia. He taught him the Tariqa, and as the Sheikh was impressed, he wrote a poem in recognition of his multiple high qualities.

When the poem was read to him, he was in such a state that he could not utter a word. He wept considerably and after the reading ended he asked for a piece of paper and a pen. In front of the people sitting by him he wrote the following:

“Our lord, the Prophet (Grace and peace be upon him) says: ‘May Allah reward you on my behalf. From Allah and from Myself you have utter love, you are on the right path, you have the utmost consent and I thereby bring you knowledge, secrets and joy. May peace be upon you.”

And when Sidi ‘Ali Harazim (May Allah be pleased with him) returned to Tunisia, he wedded a Sheriffa as ordered by the Prophet (Grace and peace be upon him) before he left Fez. Later on, he parted with her as the circumstances forced him to do so.

About the preceding, it is reported that before leaving the noble Sidi ‘Ali Harazim (May Allah be pleased with him) told one of his close companions every thing the Prophet (Grace and peace be upon him) revealed to him about the Sheriffa in question with menu details, like her name and that of her father. When he arrived in Tunisia, he saw everything that the Prophet (Grace and peace be upon him) told him. Later on, when that one close companion heard about the divorce, he was as amazed as he was unsettled as the order came straight from the Prophet (Grace and peace be upon him), and during his free time he was entertained by satanic manipulations about what occurred.

One day, as he was sitting with Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) they chatted a long while until his heart smoothed out and his members humbled down, and he could not feel anything. Then, the thought crossed his mind and his purity was shaken. Seidina Ahmed Tidjani (May Allah sanctify his precious secret) stared at him and then looked down, without adding anything else, told him: “She usually did not perform her prayers.” I thus knew that the Prophet approved of what he did. Such is an overview of the life of the noble Khalife Sidi Hajj ‘Ali Harazim Berada (May Allah be pleased with him).

Kreditasi
---------
http://www.dar-sirr.com/forum/viewtopic.php?f=10&t=1197